E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 3

Tiga



Pada suatu malam, rembulan tampak bersinar menyinari malam yang kelam. Di sebuah beranda, Bobby tampak duduk sendiri. Jarinya yang sempurna tampak lincah memainkan alunan nada sedih yang semakin membuatnya terlena, terbayang akan kenangan masa lalu yang begitu indah, dan sekaligus membawanya pada kesedihan yang begitu mendalam. “Nin... kenapa kau begitu cepat meninggalkanku?" tanya Bobby kepada sang Pujaan hati yang telah pergi untuk selama-lamanya.
Mendadak petikan gitar pemuda itu terhenti, bersamaan dengan tatapan kosong yang memandang ke gelapnya malam. Saat itu keheningan terasa begitu hampa, membelai jiwa yang lara. "Kenapa? Kenapa Nin...?" tanya pemuda itu lagi.
Saat itu semilir angin sepoi-sepoi tampak membelai rambutnya yang panjang, bersamaan dengan itu udara dingin pun terasa kian menusuk. Tiba-tiba pemuda itu terpejam, bersamaan dengan itu dari kedua matanya tampak mengalir air mata kesedihan. Lalu sambil berlinang air mata, pemuda itu kembali memetik gitarnya. Kini alunan nada sedih kembali terdengar dengan begitu menyayat hati.
Sementara itu di tempat lain, Randy terlihat sedang duduk berdua dengan kekasihnya. Saat itu mereka terlihat mesra. "Yul! Aku mencintaimu," ucap Randy seraya menggenggam tangan kekasihnya.
"Aku juga, Kak," balas Yuli seraya tersenyum manis.
"Jangan pernah kau tinggal aku lagi, Yul!"
"Tidak akan, Kak. Aku senantiasa akan selalu bersamamu."
Kini Randy memandang mata kekasihnya, pancaran cahaya cinta tampak membias ke dalam hati sang Pujaan. Seiring dengan getaran di jiwanya, Yuli pun tampak terpejam. Lalu dengan serta-merta Randy mencium kening kekasihnya itu dengan mesra. "Aku ingin seperti ini selamanya, Yul," ucapnya berbisik.
"Aku pun demikian, Ran," balas Yuli.
Keduanya lantas berpelukan—mengungkapkan segala gelora di jiwa masing-masing, saling menodai hati dan memancing murka Tuhan. Saat itu angin malam yang dingin menerpa keduanya, dan rasa dingin itu dirasakan seperti menyeruak hingga ke bawah kulit. Kini Yuli bersandar di dada kekasihnya, bersamaan dengan itu Randy tampak membelai rambutnya dengan mesra.
"Randy cintaku," ucap Yuli manja.
"Apa manisku?" tanya Randy lembut.
"Aku sayang padamu," ucap Yuli seraya menggenggam tangan kekasihnya.
Lagi-lagi Randy mencium kening kekasihnya. "Aku juga menyayangimu, Yul," katanya berbisik. Keduanya terus berkasih-sayang hingga malam menjemput pagi.

 

Esok harinya, Bobby sudah berniat untuk pergi ke rumah Pamannya yang berada di desa terpencil. Di sana dia ingin mencari kegiatan yang sekiranya bisa mengalihkan segala ingatannya tentang Nina, yaitu dengan memperdalam ilmu agamanya. Begitulah jika hidayah Allah telah datang, menolong seorang anak, buah hati dari seorang ibu yang bertakwa, yang senantiasa mendoakan keselamatan anaknya.
"Itu memang yang terbaik, Nak," kata Ibunya memberi dukungan.
"Tapi, Bu. Bobby merasa tidak enak jika harus meninggalkan Ibu sendirian."
"Tidak apa-apa, Sayang... di sini kan ada Bik Ijah yang selalu menemani Ibu."
"Bu? Sekarang Bobby benar-benar sudah merasa lega untuk meninggalkan rumah. Besok, Bobby akan berangkat menuju ke rumah Paman."
"Iya Sayang... Ibu akan selalu mendoakanmu."
"Terima kasih, Bu!"
Setelah berbicaranya dengan Ibunya, Bobby segera berangkat untuk menemui Randy. Setibanya di sana dia langsung menemui pemuda itu dan menceritakan maksud kepergiannya, hingga akhirnya, "Begitulah, Ran," kata Bobby mengakhiri ceritanya.
"Wah, Bob. Aku senang sekali mendengarnya. Aku pikir kau akan terus larut dalam kesedihan."
"Tidak, Ran. Aku tidak mau seperti itu. Biar bagaimanapun, aku harus tetap menjalani kehidupan ini dengan hal-hal yang bermanfaat."
"Benar, Bob. Dengan demikian kau bisa lebih berguna untuk agama, nusa, dan bangsa."
"Ran? Terus terang saja, sebenarnya di pikiranku terlintas juga hal-hal yang sekiranya bisa membawaku kepada hal-hal yang merugikan. Aku pernah berniat untuk bunuh diri, maupun lari kepada obat-obatan terlarang. Untunglah Allah masih menyayangiku, sehingga aku mempunyai keinginan untuk memperdalam ilmu agamaku di sana. Dan aku percaya, kalau semua itu adalah  buah dari doa ibuku tercinta."
"Tuhan memang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang, Bob. Dan Dia tentu akan mengabulkan doa seorang ibu yang bertakwa. Aku doakan juga semoga kau bisa cepat dicarikan penggantinya, dan semoga kau bisa sukses memperdalam ilmu agamamu di sana"
"Terima kasih, Ran! Aku juga mendoakanmu—semoga kau tetap langgeng bersama Yuli."
"Terima kasih, Bob!"
Tak lama kemudian, Bobby pamit kepada sahabatnya. Kemudian pemuda itu terlihat mengendarai mobilnya dan segera melaju ke Toserba untuk membeli segala keperluannya. Saat itu Randy tampak memandang kepergian sahabatnya dengan suka-cita, dalam hati dia terus berdoa—semoga Tuhan selalu melindungi dan menjadikannya tabah dalam menjalani kehidupan ini.

 
 
Esok paginya, Bobby berangkat menuju ke terminal bis Kampung Rambutan. Lalu dengan sebuah bis cepat pemuda itu melaju bersama cinta-cintanya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya pemuda itu tiba di tempat tujuan. Saat itu hari sudah mulai menjelang siang, bahkan matahari yang bersinar cerah kian terasa menyengat kulit. Setelah menggendong tas dan mengikatkan slayer di kepalanya, pemuda itu tampak mulai melangkah. Kini pemuda itu sedang menyusuri jalan setapak yang sepi, yang di kanan-kirinya tampak berjajar pepohonan lebat. Sementara itu, di kejauhan sayup-sayup terdengar suara tonggeret yang terus mengiringi perjalanannya.
Bobby terus melangkah, bahkan dengan penuh semangat dia mulai mendaki bukit yang terjal. Sayangnya ketika baru menempuh separuh jalan, pemuda sudah mendapat ujian, saat itu dia merasa kerongkongannya kian bertambah kering. Padahal, saat itu air minumnya sudah habis tak tersisa. Sejenak dia beristirahat sambil mengelap peluh yang bercucuran, sedangkan rasa haus yang dirasakannya terus saja menyiksa. Saat itu Bobby berusaha untuk tabah dan berusaha menyadari kalau semua itu adalah ujian yang harus dihadapinya, hingga akhirnya dia bersemangat kembali dan segera melanjutkan perjalanan.
Bobby terus melangkah naik, hingga akhirnya dia mendengar suara gemercik air yang sayup-sayup terdengar di kejauhan. "Su-suara itu…" kata pemuda itu seraya buru-buru melangkah ke asal suara. Dan tak lama kemudian, "A-air!" serunya gembira ketika melihat sebuah pancuran bambu yang terus-menerus mengucurkan air.
Lalu tanpa buang waktu, pemuda itu segera menghampiri dan menadahkan kedua tangannya. Saat itu juga, air yang begitu jernih tampak mengucur hingga memenuhi kedua telapak tangannya, kemudian segera diminumnya air itu hingga tak tersisa—sungguh terasa begitu sejuk dan menyegarkan. Setelah puas melepas dahaga, Bobby pun segera membasuh wajahnya. Bersamaan dengan itu, peluh pun sirna berganti dengan kesegaran yang meresap ke pori-pori. Setelah itu, dia segera mengisi tempat minumnya hingga penuh, dan tak lama kemudian dia sudah kembali melanjutkan perjalanan.
Setelah lama berjalan, akhirnya Bobby tiba di gerbang desa yang ditandai dengan sebuah jembatan gantung, yang di bawahnya terdapat aliran sungai yang cukup deras. Kini pemuda itu sudah menyebrangi jembatan dan sedang melangkah menyusuri tepian sungai. Ketika tiba di sebuah air terjun kecil, tiba-tiba pemuda itu menghentikan langkahnya. Saat itu di kejauhan, dia melihat seorang gadis yang baru saja turun dari atas kuda. Kini gadis itu tengah duduk di tepian sungai, kedua matanya yang bening tampak menatap ke riak gelombang yang mengalir deras. Wajah gadis itu tampak begitu manis, rambutnya yang ikal mayang terlihat begitu indah—hitam bercahaya. Sungguh hal itu telah membuat Bobby jadi penasaran dan membuatnya ingin sekali berkenalan. Namun tiba-tiba Bobby mengurungkan niatnya, sebab saat itu dia menyadari kalau bukan itu tujuannya datang ke desa itu. Sejenak dia memperhatikan gadis tadi, kemudian dengan segera dia melangkah melanjutkan perjalanannya.
Sementara itu di tepian sungai, si Gadis masih duduk terpaku. Matanya yang sayu terlihat berkaca-kaca, sedangkan pikirannya tampak diselimuti awan mendung yang semakin membawanya menerawang jauh ke awang-awang. Pada saat itu, rumpun bambu yang tumbuh tampak memayunginya dari terik mentari. Sesekali, semilir angin menerpa rambutnya yang panjang. Kini gadis itu tampak menggigit bibirnya yang tipis, bersamaan dengan itu air matanya tampak menetes membasahi pipi. Rupanya saat itu dia sedang dilanda kesedihan, meratapi sang Kekasih yang telah pergi untuk selama-lamanya. "Wahai pujaan hatiku, belahan jiwaku… sepertinya aku tidak bisa hidup tanpa dirimu, haruskah aku menyusulmu ke alam sana," ratap gadis itu sambil terus terisak, lalu dari kedua matanya tampak meluncur sebulir air mata yang terus mengalir hingga ke celah bibirnya.
Gadis itu terus larut dalam duka, meratapi nasibnya yang malang sambil terus memejamkan mata dan menggigit bibirnya perlahan. Pada saat yang sama, Bobby masih dalam perjalanan. Kini pemuda itu sedang menyusuri jalan setapak dengan pemandangan lembah yang terbentang di sebelah kirinya, sungguh sebuah pemandangan yang bagi Bobby tampak begitu indah. Mendadak pemuda itu menghentikan langkahnya, kemudian dengan segera dia duduk di atas sebuah batu besar yang ada di bibir jurang. Saat itu kedua matanya tampak menatap takjub ke arah lembah, mengagumi alam ciptaan Tuhan yang tiada duanya.
Hampir setengah jam Bobby berada di tempat itu, melepas letih sambil menikmati keindahan alam dan juga menikmati bekal yang dibawanya. Ketika pemuda itu hendak melanjutkan perjalanan, tiba-tiba dia mendengar suara derap kuda di kejauhan. Saat itu, dilihatnya seorang gadis dengan rambut tergerai tampak memacu kudanya, berkecepatan tinggi—menyusuri jalan yang terus mendaki.
Bobby terus memperhatikan laju kuda yang terus berlari kencang ke arahnya, bahkan kedua matanya hampir tak berkedip—menatap paras cantik yang sudah kian mendekat. Si Gadis terus memacu kudanya dengan kecepatan yang kian meninggi. Namun sungguh sangat disayangkan, di depannya tiba-tiba melintas seekor ular yang cukup besar, membuat kudanya seketika terhenti, dengan kedua kaki yang terangkat tinggi. Tak ayal, saat itu juga si Gadis yang menungganginya langsung terlempar ke belakang dan menghantam sebuah batu yang cukup besar.
Melihat itu, mata Bobby langsung terbelalak, kemudian dengan segera dia berlari menghampirinya. Kini dia sudah berada di sisi gadis yang sedang tergeletak tak berdaya, saat itu darah tampak mengalir membasahi wajahnya yang cantik. Bersamaan  dengan itu, terdengar pula erangan kesakitan dari bibirnya yang tipis. Mengetahui itu, Bobby segera mengeluarkan sapu tangannya dan membersihkan darah yang terus mengalir. Untuk sementara Bobby membiarkan sapu tangannya menutupi luka si gadis, lalu dengan agak tergesa-gesa dia mulai mencari beberapa lembar daun putri malu dan langsung mengunyahnya hingga halus. Setelah itu dia segera memborehkannya di atas luka si gadis, hingga akhirnya darah pun mulai berhenti mengalir. Kini Bobby tengah membersihkan sisa darah dari dahi si gadis yang tampak putih mulus, sesekali matanya tergoda untuk terus memperhatikan paras cantik yang masih saja meringis.
"Bagaimana, apa masih ada yang sakit?" tanya Bobby lembut.
Si Gadis tidak menjawab, saat itu dia masih saja merintih sambil meraba kakinya yang putih mulus. Melihat itu, Bobby pun segera memeriksanya. Dengan perlahan sekali pemuda itu mulai meraba dan menekan-nekan kaki si gadis yang diduga mengalami cidera. Benar saja, ketika dia menekan bagian tertentu, mendadak si Gadis berteriak histeris. Saat itu Bobby sempat kaget dibuatnya, namun begitu dia mencoba untuk tenang kembali. Akhirnya Bobby bisa menyimpulkan, kalau kaki si Gadis mengalami keretakan tulang. Lalu dengan segera dia mencari dua batang kayu dan digunakannya untuk menyopak kaki si Gadis, yang saat itu diikatnya dengan menggunakan slayer.
Kini rintihan si Gadis sudah mulai mereda, saat itu dia tampak menatap Bobby sambil berusaha tersenyum manis. "Terima kasih, Kak!" ucapnya lirih.
"Siapa namamu?" tanya Bobby seraya menatap mata gadis itu dalam-dalam.
"Na-namaku..." Gadis itu tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak berpaling dengan hati sedikit bergetar. "Kenapa kau menatapku seperti itu, Kak?" tanyanya dalam hati, kemudian si Gadis kembali menatap Bobby yang kini dilihatnya tengah tersenyum. "Na-namaku  Dewi..." jawabnya pelan. "Ka-kalau kau?" sambungnya kemudian.
"Aku Bobby, aku datang dari Jakarta. O ya,  ngomong-ngomong… di mana rumahmu?"
"Di-di sana, Kak... di atas bukit itu," jelas Dewi seraya menunjuk ke arah bukit yang tak begitu jauh.
"Eng… Kalau begitu, aku akan mengantarkanmu ke sana," kata Bobby seraya bersiap-siap untuk membopongnya.
"Terima kasih, Kak," ucap Dewi seraya tersenyum tipis.
Ketika Bobby akan membopongnya, tiba-tiba "Ach..." Seketika Dewi menjerit, merasakan sakit pada di kakinya yang cidera.
"Kau tidak apa-apa, Wi?" tanya Bobby khawatir.
"Ti-tidak apa-apa, Kak. Cuma sakit sedikit," jawab Dewi.
Mendengar itu, Bobby pun merasa lega, lalu dengan perlahan pemuda itu mencoba kembali membopong Dewi. “Sakit?” tanya Bobby memastikan.
Saat itu Dewi menggeleng dan berusaha tersenyum. Mengetahui itu, Bobby pun merasa lega dan langsung membawanya menuju kuda yang sejak tadi terus merumput di pinggir jalan, kemudian dengan hati-hati sekali dia mendudukkan Dewi di atas pelana. Setelah itu, dia pun segera naik ke pelana dan mengendalikan kuda itu melintasi jalan  yang menuju ke rumah Dewi.
Setibanya di pekarangan rumah Dewi, Bobby langsung turun dan membopong gadis itu menuju teras. Pada saat yang sama, orang tua Dewi yang sedang bercakap-cakap di teras tampak terkejut, lantas keduanya segera berlari menghampiri.
"Dewi...!” teriak sang Ibu khawatir. “A-apa yang telah terjadi, Nak?" tanyanya kemudian.
"A-apa yang telah terjadi dengan Putriku, Nak?" tanya Sang ayah juga merasa khawatir seraya memperhatikan keadaan putrinya.
"Begini Pak, Bu... Dewi jatuh dari atas kuda," jelas Bobby terus terang.
"Kalau begitu, ayo cepat bawa Dewi ke kamar!" pinta sang Ibu cemas.
Bobby pun segera membopong Dewi ke kamar dan membaringkannya di tempat tidur.
"Pak, cepat panggilkan dokter!" pinta sang Ibu kepada suaminya.
Lalu tanpa buang waktu, sang suami pun segera berangkat menuju rumah Pak Dokter. Pada saat yang sama, Bobby segera pamit untuk melanjutkan perjalanannya.
"Terima kasih ya, Nak!" ucap Ibu Dewi senang.
"Sama-sama, Bu!" balas Bobby, "Wi, cepat sembuh ya!" ucapnya kepada gadis yang kini sedang terbaring di tempat tidurnya.
Saat itu, di bibir pemuda itu tampak tersungging sebuah senyuman manis. Melihat itu, Dewi pun segera membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis. Kini gadis itu sedang memperhatikan Bobby yang kini sudah melangkah bersama ibunya menuju teras.
"Nah, Nak Bobby. Rumah pamanmu sudah tak jauh dari tikungan itu," kata Ibu Dewi seraya mengarahkan jari telunjuknya ke tempat yang dimaksud.
Bobby pun segera mengarahkan pandangannya ke tempat itu, "O, jadi setelah tikungan itu ya. Kalau begitu, aku pamit sekarang, Bu. O ya, terima kasih atas petunjuknya," ucap Bobby ramah seraya bergegas ke tempat yang dimaksud.
Tak lama kemudian, “Hmm… Tidak salah lagi, itu pasti rumahnya,” gumam Bobby seraya memperhatikan pekarangan yang dipenuhi dengan tumbuhan apotik hidup.
Kini pemuda itu sudah berdiri di pekarangan seraya memperhatikan seorang pria tua yang kini sedang duduk santai di teras, membaca sebuah buku sambil menghisap pipa tembakau. Pria tua itu duduk di atas kursi goyangnya yang terus bergoyang dengan perlahan.
"Assalam… Paman!" seru Bobby tiba-tiba seraya bergegas menghampiri pria tua itu dan mencium tangannya.
"Wa-wa’alaikum… si-siapa, ya?" tanya pria tua itu pangling.
"Ini aku, Paman. Bobby..."
"Bo-Bobby! Hahaha...! Paman benar-benar sudah tidak mengenalimu. Sungguh Paman tidak menyangka kalau sudah sebesar ini," kata sang Paman seraya memeluk keponakannya itu.
"Bu! Ke sini Bu! Lihat nih siapa yang datang!" teriak sang Paman memanggil istrinya.
Tak lama kemudian, istri sang Paman sudah keluar, dan dia benar-benar terkejut ketika melihat siapa yang datang. "Bo-Bobby! Kau Bobby kan?" ucapnya seakan tak percaya.
Pada saat itu Bobby langsung mencium tangan bibinya, kemudian melangkah bersama menuju ruang tamu. Sang Paman pun tak mau ketinggalan, dengan segera dia mengikuti dan duduk di sebelah keponakannya.
Sang Bibi yang masih berdiri kembali membuka suara, "Bob, kau berbincang-bincang saja dengan pamanmu. Bibi mau buatkan minum dulu," ucapnya seraya melangkah pergi.
"Terima kasih, Bi!" ucap Bobby.
"O ya, Bob. Bagaimana keadaan Ibumu di Jakarta?" tanya pamannya tiba-tiba.
"Beliau sehat-sehat saja, Paman," jawab Bobby.
Sang Paman terus bertanya tentang keadaan keluarga Bobby di Jakarta, dan tak lama kemudian sang Bibi sudah kembali dengan membawa minuman dan makanan, hingga akhirnya mereka pun berbincang-bincang bersama di ruang tamu sambil menikmati singkong goreng dan teh yang disediakan oleh sang Bibi.
Sementara itu di rumah Dewi, seorang dokter terlihat tengah memeriksa keadaan Dewi, dia tampak mengamati kaki Dewi yang cidera. Ayah Dewi yang bernama Pak Saman terlihat duduk di tepi tempat tidur sambil memperhatikan putrinya dengan penuh khawatir.
"Untunglah cideranya tidak terlalu parah, mungkin dalam waktu dua minggu anak Bapak sudah bisa berjalan kembali," jelas Pak Dokter kepada Pak Saman.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Pak Saman lega.
"O ya, Pak. Kalau begitu, sebaiknya saya pamit sekarang saja. Dan ini ada beberapa obat yang harus diminum oleh putri Bapak," kata Pak Dokter seraya memberikan obat yang dimaksud.
Setelah mengantar Pak Dokter sampai ke muka rumah, Pak Saman pun segera kembali menemui Dewi di kamarnya. Sementara itu di tempat lain, Bobby bersama paman dan bibinya masih terlihat berbincang-bincang.
"O... jadi kau ingin belajar agama di sini?" tanya Sang Paman mengerti.
"Benar Paman! Aku ingin memperdalam ilmu agamaku," jelas Bobby sungguh-sungguh.
"Kalau begitu, besok Paman akan mengenalkanmu dengan pimpinan pondok pesantren di desa ini, mudah-mudahan beliau mau menerimamu sebagai santri lepas," janji sang Paman.
"Terima kasih, Paman!" ucap Bobby.
Mereka terus berbincang-bincang hingga tak terasa azan magrib pun mulai berkumandang, dan suara itu berasal dari surau yang tak begitu jauh. Mendengar itu, sang Paman pun segera mengajak Bobby untuk menunaikan sholat magrib di surau tersebut. Kini keduanya sedang menyusuri jalan setapak yang menuju ke surau, saat itu lembayung yang kemerahan tampak indah menghiasi bukit kecil di seberang desa.