E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 7

 Tujuh



Pagi harinya, di rumah Pak Kosim. Seorang pria baru saja membawakan perbekalan untuk Bobby dan kekasihnya. Kini pria itu sedang bercakap-cakap dengan mereka. "Nah, sebaiknya kalian cepat berangkat. Mumpung hari masih pagi," anjur pria itu.
"Hmm... Jadi mereka akan ke Desa Mahoni?" tanya Bobby memastikan.
"Ya begitulah yang Pak Kepala Desa katakan," jelas pria yang bernama Pak Dirman.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu, kami akan segera berangkat," pamit Bobby seraya mengajak Dewi untuk segera berkemas-kemas.
Dan tak lama kemudian, keduanya sudah bergegas meninggalkan rumah Pak Kosim. Kini mereka sedang menuju ke gerbang desa yang ada di Selatan. Dengan berlari kecil, keduanya berusaha mencapai tempat itu. Dan setelah melewatinya, mereka pun mulai berjalan santai, menyusuri jalan setapak yang menuju ke Desa Cendana, sebuah desa yang atas petunjuk Pak Dirman merupakan desa yang aman.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dan melangkah, hingga akhirnya mereka memasuki sebuah hutan yang cukup lebat. Hutan itu agak gelap dan cukup menyeramkan, hanya sedikit sinar mentari yang menerobos masuk—membias melalui celah-celah rimbunnya pepohonan besar. Di tengah kerimbunan hutan itu, terdengar beragam suara serangga, nyanyian burung, dan hewan kecil lain yang berbaur dengan suara gesekan daun yang tertiup angin. Terdengar begitu harmonis sehingga menciptakan sebuah simfoni alam yang begitu indah. Sesekali juga terlihat kera yang melompat dari pohon satu ke pohon yang lain. Namun semakin lama, kera-kera yang terlihat di hutan itu semakin banyak. Saat itu Bobby dan Dewi tampak khawatir dibuatnya. Maklumlah, karena kawanan kera itu terus mengawasi mereka sambil terus melompat-lompat dengan teriakan yang menggetarkan jiwa. Karena tingkah kera-kera itu semakin mengkhawatirkan, akhirnya Bobby dan Dewi mempercepat langkah mereka.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dengan begitu tergesa-gesa, bahkah sesekali mereka tampak berlari kecil hingga akhirnya mereka berhasil keluar dari hutan. Kini mereka sudah kembali berjalan santai menyusuri jalan setapak. Setelah menyeberangi sebuah jembatan kecil yang terbuat dari batang kelapa, kedua muda-mudi itu berjumpa dengan seorang ibu tua yang berusia kira-kira 54 tahun. Ibu tua itu tampak kurus, pakaiannya pun tampak lusuh dan begitu memprihatinkan. Kini ibu Tua itu tengah berdiri sambil memperhatikan mereka, dari kedua matanya terpancar sebuah harapan yang begitu besar. "Kasihani aku, Nak... tolong beri aku makan! Sudah sejak kemarin aku belum makan," ucapnya lirih seraya menghampiri kedua muda-mudi itu.
Bobby dan Dewi merasa iba melihat ibu tua itu, sepertinya dia memang benar-benar kelaparan. Lalu dengan serta-merta Bobby mengambil sebagian bekal yang dibawanya dan memberikannya kepada ibu tua itu. Ibu tua itu pun segera menyambutnya dengan penuh suka cita. "Terima kasih, Nak... Semoga Tuhan senantiasa membalas kebaikan kalian," ucapnya seraya duduk dan mulai menikmati makanan yang baru didapatnya.
"O ya, ngomong-ngomong… Ibu mau ke mana?" tanya Bobby yang kini sudah duduk di sisinya.
"Sebenarnya aku mau ke Desa Cendana, Nak. Namun ketika aku melewati hutan kera, bekalku dicuri oleh kera-kera nakal yang ada di hutan itu. Karenanyalah aku tidak mampu melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya aku terpaksa berdiam di tempat ini."
"Kalau begitu, Ibu bisa pergi bersama kami. Karena kami pun sedang menuju ke desa itu."
Setelah si Ibu tua menghabiskan makanannya, mereka bertiga lantas berangkat menuju ke Desa Cendana. Saat itu, Bobby dan Dewi terpaksa berjalan pelan mengikuti langkah si Ibu tua yang tertatih-tatih. Ketiganya terus melangkah menyusuri jalan setapak yang mulai menurun. Rimbunnya pepohonan yang tumbuh di kiri-kanan jalan cukup melindungi mereka dari sinar mentari yang menyengat, bahkan keteduhannya mampu membuat mereka merasa nyaman dan tidak membuat mereka cepat lelah.
Sementara itu di tempat lain, Pak Gahar dan Pak Amir sedang bercakap-cakap sambil menikmati kopi pahit di sebuah warung kecil. "Mir, besok pagi kuda-kuda kita pasti sudah segar kembali. Karenanyalah, besok pagi kita harus segera berangkat. Jika terlalu lama di desa ini, aku khawatir mereka keburu jauh," jelas Pak Gahar seraya menyeruput kopi pahitnya.
"Kenapa terburu-buru, Har. Lusa saja kita berangkat! Aku yakin, lusa pun mereka belum tiba di Desa Mahoni."
"Kita tidak boleh menunda-nundanya, Mir. Sebab Pak Wangsa bisa naik-pitam lantaran kita terlalu lama membawa gadisnya pulang?"
"Kalau begitu, terserah kaulah."
Tak lama kemudian, kedua lelaki itu tampak meninggalkan warung—mereka melangkah untuk mengurus kuda-kuda yang belum diberi makan. Sementara itu di tempat lain, Bobby, Dewi, dan si Ibu tua masih dalam perjalanan. Saat ini mereka sedang melangkah menuruni lereng bukit, melewati jalan setapak yang berada di antara tebing dan jurang. Indahnya pemandangan yang terlihat dari tempat itu sungguh membuat Bobby begitu takjub. Hijaunya hutan yang terbentang di kejauhan terlihat begitu menyejukkan mata, perbukitan kecil yang menjulang di belakangnya pun tampak begitu indah, diselimuti kabut tipis yang membayang, bagaikan untaian sutera.
"Wi, bagaimana kalau kita istirahat sejenak di tempat ini!" ajak Bobby tiba-tiba.
Saat itu juga, Dewi langsung menghentikan langkahnya. "Aku setuju, Kak. Tampaknya si Ibu juga perlu istirahat. Lihatlah! Beliau tampak sudah kepayahan," kata Dewi seraya menghampiri si Ibu tua dan mengajaknya beristirahat.
Tak lama kemudian, ketiganya tampak sudah duduk di bawah sebuah pohon yang begitu rindang—beristirahat sambil menikmati pemandangan yang begitu mempesona. Namun belum lama mereka beristirahat, tiba-tiba Bobby merasakan setetes air yang mengenai wajahnya. Kemudian dengan serta-merta, pemuda itu menyeka tetesan air itu seraya mendongak ke atas—memperhatikan langit yang kini sudah diselimuti awan mendung. "Wi, sepertinya mau turun hujan. Ayo, kita segera mencari tempat berlindung!"  ajak Bobby seraya bangkit dari duduknya.
Dewi dan si Ibu tua yang duduk di sebelahnya juga segera bangkit, kemudian mereka bergegas mengikuti Bobby yang sedang mencari tempat berlindung. Tak lama kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya. Saat itu, Bobby dan kedua wanita yang bersamanya semakin berusaha keras menemukan coakan yang bisa dijadikan tempat berlindung. Namun sayangnya usaha mereka gagal, hingga akhirnya mereka terpaksa terus berjalan di bawah siraman hujan yang begitu lebat. Setelah sekian lama berjalan, akhirnya mereka sampai di sebuah jalan yang mendatar, namun jalan itu masih berada di antara tebing dan jurang.
"Lihat itu, Wi!" Seru Bobby gembira. Di kejauhan, dia melihat sebuah pondok yang berdiri tak jauh dari persimpangan jalan.
"Itukah pondok yang dimaksud oleh Pak Dirman, sebuah pondok yang ada di persimpangan jalan antara Desa Cendana dan Desa Mahoni," sambut Dewi Gembira.
"Betul, Wi. Tidak salah lagi. Ayo lekas kita berteduh di tempat itu!"
Saat itu, kedua muda-mudi itu tampak begitu senang. Selain akan mendapat tempat berteduh, keduanya sudah sampai di persimpangan yang akan mengecoh kedua anak buah Wangsa. Lalu dengan bersemangat, Bobby dan Dewi tampak berlari menuju pondok. Pada saat yang sama, tiba-tiba mereka mendengar suara teriakan si Ibu tua yang ternyata sudah cukup jauh tertinggal di belakang.
"Tunggu, Nak...! Kenapa kalian meninggalkan Ibu???" teriak si Ibu tua itu lagi sambil terus berusaha mempercepat langkah kakinya.
Bobby dan Dewi segera menghentikan lari mereka, kemudian berdiri menunggu si Ibu tua yang masih melangkah dengan tertatih-tatih. Tak lama kemudian, "Aduh! Kenapa dengan kalian ini. Ibu kan tidak bisa berlari secepat itu."
"Maaf, Bu. Kami terlalu gembira dan ingin segera berteduh. Jadi...."
"Iya, Ibu maklum. Waktu masih muda pun, Ibu juga seperti kalian. Maunya serba cepat dan agak tidak sabaran."
Mendengar itu, Bobby hanya bisa tersenyum. "Eng… Kalau begitu, mari kita segera ke pondok itu!" ajaknya kemudian.
Belum sempat mereka melangkah, tiba-tiba dari atas tebing terdengar suara gemuruh yang begitu keras, kemudian di susul dengan siraman lumpur jatuh di atas kepala mereka. Menyadari itu, seketika Bobby berteriak, "Longsor! Cepat tinggalkan tempat ini!"
Lantas tanpa buang waktu, ketiganya langsung berlari menyelamatkan diri. Namun sungguh sangat sayangkan, saat itu si Ibu tua terjatuh akibat licinnya jalan. Mengetahui itu, Bobby dan Dewi mencoba menolong. Pada saat yang sama, dari atas tebing, longsor tampak semakin menjadi-jadi.
"Wi! Cepat selamatkan dirimu!" pinta Bobby tiba-tiba.
"Tapi Kak..."
"Sudahlah...! Cepat tinggalkan tempat ini!" pinta Bobby lagi seraya berusaha memapah si Ibu tua yang masih meringis kesakitan.
Sejenak Dewi memandang kekasihnya, lalu dengan bimbang gadis itu segera berlari menjauh. Pada saat yang sama, Bobby masih berusaha memapah si Ibu tua agar bisa segera meninggalkan tempat itu. Namun ketika mereka sedang berusaha keras, longsoran tampak sudah semakin dasyat. Menyadari itu, Bobby dan si ibu tua segera berlindung di tepi tebing yang menjorok ke dalam, keduanya tampak berusaha berpegangan pada sebilah akar yang ada di situ. Bersamaan dengan itu, longsoran dasyat tampak menimpa keduanya—mengalir bersama air dan batu bagaikan aliran sungai yang begitu deras. Kini keduanya sudah tak terlihat lagi. Sementara itu di kejauhan, Dewi tampak terpaku menyaksikan kejadian yang baginya tampak begitu mengerikan. "Kak Bobbyyy...!!!" teriak gadis itu histeris.
Gadis itu terus berteriak-teriak memanggil Sang Kekasih, sampai akhirnya dia terduduk lemas dengan air mata yang terus mengalir. Pada saat yang sama, dari arah persimpangan, terlihat tiga orang lelaki tampak berlari ke arahnya. Tak lama kemudian, "Ada apa, Nak? Apa yang telah terjadi?" tanya salah seorang dari mereka. Orang itu tampak sudah tua dan berjenggot putih.
"Tolong, Kek... Me-mereka... " belum sempat gadis itu meneruskan kata-katanya, tiba-tiba dia melihat sesuatu yang bergerak-gerak di gundukan longsor. Lantas tanpa buang waktu, gadis itu segera bangkit dan berlari mendekat. Pada saat yang sama, ketiga orang tadi segera berlari mengikutinya.
Kini dari gundukan longsor, sebuah tangan tampak menyembul keluar. "Kak Bobby!" teriak Dewi senang ketika mengetahui kalau itu adalah tangan kekasihnya, kemudian dengan sekuat tenaga gadis itu mencoba menggalinya.
Melihat itu, ketiga orang tadi segera membantunya—mereka tampak berusaha keras menggali tanah yang mengubur Bobby.
"Kak Bobbyyy...!!!" teriak Dewi tiba-tiba ketika menyadari tangan kekasihnya sudah terkulai tak bergerak. Bersamaan dengan itu, kecemasannya pun tampak semakin menjadi-jadi, hingga akhirnya air matanya kembali jatuh berderai.
Sambil berlinang air mata, gadis itu tampak semakin berusaha keras untuk terus menggali dan menggali. Begitu juga dengan ketiga orang yang membantunya, mereka dengan tanpa kenal lelah terus berusaha menggali dan menggali. Dalam hati, Dewi terus berdoa kepada Tuhan agar menyelamatkan kekasihnya. Tak lama kemudian, wajah Bobby sudah terlihat. Saat itu, wajahnya yang tampan tampak begitu pucat, tak ada tanda kehidupan.
Melihat itu, Dewi tampak terpaku, bibirnya bergetar, dan air matanya kian bertambah deras. “Kak Bobbyyy…” ucap Gadis itu pelan, kemudian dia terdiam. Sepertinya gadis itu sudah tak mampu lagi berkata-kata karena menahan kesedihan yang teramat sangat.
"Syukurlah, dia masih hidup," ucap si Kakek berjenggot putih tiba-tiba.
Mendengar itu, Dewi bagaikan terlena oleh nyanyian bidadari yang begitu merdu, yang mana telah membuai sukmanya hingga merasa senang bukan kepalang. Dalam hati dia sangat bersyukur mengetahui kekasihnya masih hidup, lalu dengan bersusah payah gadis itu terus membantu ketiga orang tadi untuk terus menggali dan menggali. Sampai akhirnya mereka berhasil mengeluarkan tubuh Bobby dari longsoran yang menguburnya.
Kini Dewi dan kedua orang pemuda yang ternyata murid si Kakek berjenggot putih sedang berusaha membersihkan sisa-sisa lumpur yang menempel di tubuh Bobby, sedangkan si Kakek berjenggot putih tampak duduk bersila di hadapan tubuh yang tak berdaya itu sambil menggerakkan telapak tangannya—naik-turun dan dibulak-balik dengan perlahan, kemudian dengan serta-merta kakek itu menempelkan telapak tangannya di dada Bobby seraya menyalurkan tenaga dalamnya.
Selagi si kakek mengobati Bobby dengan menyalurkan tenaga dalamnya, Dewi tampak menceritakan perihal Ibu tua yang juga tertimpa longsoran kepada kedua murid si Kakek. Kedua orang itu tampak mengangguk-angguk mendengar cerita itu, lalu salah satu dari mereka langsung membuka suara.
"Sungguh kasihan ibu tua itu. Kita tidak mungkin bisa menyelamatkannya. Beliau tentu sudah hanyut dan terkubur lumpur di dasar jurang. Bukan begitu, Kang Darma?"
"Yang kau katakan itu benar, Dimas. Tidak seperti pemuda itu, yang mampu perpegangan pada sebilah akar sehingga tidak hanyut terbawa arus," sahut orang yang bernama Darma.
Saat itu Dewi tampak sedih ketika mengetahui si Ibu tua tidak mungkin bisa diselamatkan, dan harus meninggal dengan cara mengenaskan seperti itu.
"Kang Darma, sepertinya kakek Brata sudah selesai," ucap Dimas memberitahu.
Pemuda bernama Darma itu segera menoleh, begitu pun dengan Dewi. Kini ketiganya tampak memperhatikan sang Kakek yang baru saja mengobati Bobby. Kakek itu terlihat begitu lemas karena telah menyalurkan tenaga dalamnya. Lantas untuk memulihkan kembali tenaganya, kakek itu pun segera bersila dengan kedua tangan yang bertumpu di lutut. Namun belum cukup kakek Brata menghimpun tenaga, lagi-lagi dari atas tebing terdengar suara bergemuruh. Kemudian tanpa buang waktu, Darma dan Dimas segera berlari sambil menggotong Bobby ke tempat yang aman. Saat itu, Dewi juga ikut berlari bersama mereka. Sementara itu, Kakek Brata yang masih lemah berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri. Sungguh sangat disayangkan, belum sempat ia berlari, sebuah batu besar yang tertinggal dari bekas longsoran pertama menghantam punggungnya. Tak ayal, batu sebesar kepala manusia itu telah membuat si kakek tersungkur ke tanah. Mengetahui itu, kedua muridnya lekas-lekas berlari untuk menyelamatkannya, hingga akhirnya mereka berhasil menghindari longsoran yang lebih dasyat dari semula. Kini sang kakek sudah dibaringkan di tempat yang aman, sepertinya dia mengalami luka dalam yang cukup parah. Malam harinya, mereka terpaksa menginap di pondok yang ada di dekat persimpangan.

 

Esok paginya, Bobby sudah sadarkan diri, memar di tubuhnya sudah tak terasa sakit. Itu semua berkat tenaga dalam yang telah disalurkan oleh sang kakek, dan tentu saja atas seizin Sang Pencipta. Ketika sadar, orang yang dilihatnya pertama kali adalah si kakek yang kini tengah terbaring sakit, kemudian Darma dan Dimas yang dilihatnya tengah duduk di sebelah kakek itu. "Siapa kalian...?" tanya Bobby heran ketika melihat mereka bertiga.
Dewi yang saat itu sedang duduk menyendiri begitu senang mendengar suara itu, kemudian dengan segera gadis itu berlari mendekat. "Kak Bobby!" panggilnya seraya duduk bersimpuh di sisinya, "Syukurlah.... kau sudah sadar, Kak."
Bobby menatap mata kekasihnya. "Siapa mereka, Wi...?" tanyanya kemudian.
"Mereka orang-orang yang telah menolongmu, Kak."
Kini Bobby kembali memandang ketiga orang itu. Dia benar-benar bersyukur kepada Tuhan karena telah diselamatkan dari maut, dan dia pun segera berterima kasih kepada orang-orang yang telah menolongnya itu. Kini pemuda itu tampak duduk bersimpuh di sisi sang Kakek sambil memandangnya dengan penuh prihatin, saat itu dia benar-benar sedih melihat kakek itu tampak tak berdaya. Pada saat yang sama, sang Kakek tampak memandangnya sambil mencoba tersenyum. Kemudian dengan terbata-bata, sang Kakek mulai berkata-kata, "Bo-bobby... itukah namamu, Nak?" tanyanya pelan.
"Benar, Kek? Itulah namaku," jawab Bobby.
Kemudian sang Kakek tampak memandang ke arah Dewi, "Dewi... kemarilah, Nak...!"
Dewi pun segera menghampiri, "Iya Kek. Ada apa?" tanyanya kemudian.
Sang Kakek lagi-lagi berusaha tersenyum. "Nak Bobby, Dewi...? Sekarang dengarkan kakek baik-baik!"  pintanya kemudian.
Saat itu juga, sang Kakek mulai menceritakan perihal dirinya. Sementara itu Bobby dan Dewi tampak mendengarkannya dengan penuh seksama. Tak lama kemudian, sang Kakek tampak berbicara dengan salah satu muridnya yang bernama Darma, dia meminta kepada muridnya itu untuk mengambilkan sebuah bungkusan kecil yang mereka bawa. Setelah Darma menyerahkan bungkusan itu, sang Kakek kembali berkata-kata, "Nak... di dalam bungkusan ini terdapat sebuah pusaka dan surat yang akan Kakek amanatkan kepada kalian. Kakek mohon, sudi kiranya kalian mau pergi ke rumah Adik Kakek yang tinggal di Desa Mahoni! Desa itu terletak di balik bukit sebelah utara. Dan Jika kalian sudah tiba di sana, berikanlah surat dan benda pusaka ini padanya."
Kemudian kakek itu segera menyerahkan bungkusan yang berisi selembar kulit hewan yang tergulung dan sebilah keris berlekuk tujuh itu kepada Bobby. Saat itu juga Bobby langsung menanggapinya dengan kedua belah tangannya. "Baik, Kek. Kami akan..." belum sempat Bobby melanjutkan katanya-katanya, tiba-tiba si kakek sudah menghembuskan nafas terakhirnya.
"Inalillahi…," ucap Bobby sambil menitikkan air matanya. Kata-kata yang sama juga diucapkan oleh Dewi, dan kedua murid si Kakek. Setelah meletakkan bungkusan yang dipegangnya, Bobby tampak mengusap kedua mata kakek itu hingga terpejam. Kemudian dia tampak mematung di sisi jenazah sang kakek sambil berlinang air mata, dia benar-benar merasa sedih akan kepergian kakek Brata yang sudah begitu baik padanya.
"Sudahlah, Bob...! Bukahkah sebaiknya kau dan kekasihmu itu berangkat sekarang! Biarlah jenazah kakek Brata ini kami yang urus. Kami akan membawanya ke Desa Cendana untuk segera dimakamkan," pinta Darma seraya menutupi wajah si kakek dengan selembar kain. Pada saat yang sama, Bobby dan Dewi tampak berkemas-kemas untuk mempersiapkan segala-sesuatunya.
Setelah berpamitan dengan kedua murid Kakek Brata, Bobby dan Dewi segera bergerak menuju ke Desa Mahoni untuk menyampaikan amanat terakhir si Kakek. Mereka terpaksa membatalkan tujuan mereka ke Desa Cendana demi untuk menyampaikan amanat itu. Sebenarnya bisa saja Bobby menolak dengan menceritakan perihal dirinya. Tapi karena dia merasa berhutang nyawa, pemuda itu pun tidak mau melakukannya. Sementara itu, tak jauh dari tempat longsoran. Pak Gahar dan Pak Amir tampak memperhatikan jalan yang tertutup longsor. Pada saat itu, Pak Gahar terlihat kesal sekali karena tidak bisa melalui jalan tersebut. "Kurang ajar! Terpaksa kita harus lewat jalan lain, Mir."
"Kita Lewat mana, Har?" tanya Pak Amir.
"Dari hutan kera tadi, kita terpaksa harus lewat jalur Selatan. Walaupun jauh, kita terpaksa harus melewatinya, karena hanya itulah satu-satu jalan yang bisa kita lewati."
Lalu dengan perasaan dongkol, Pak Gahar segera mengajak temannya untuk berbalik arah dan memacu kudanya melewati jalan memutar. Sementara itu Bobby dan Dewi masih dalam perjalanan. Mereka terlihat melangkah dengan waspada—khawatir jika sewaktu-waktu orang yang mengejar mereka akan melewati jalan itu.