E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 6

Enam



Di sebuah lembah, hamparan sawah tampak membentang hingga ke kaki bukit. Saat itu di atas pematang, Bobby dan Dewi tampak sedang melangkah sambil bergandengan tangan. Di angkasa, burung-burung pipit terlihat berterbangan sambil berputar-putar di atas hamparan sawah, kemudian bersama-sama turun untuk menikmati butiran padi yang tampak sudah menguning.
Kini Bobby dan Dewi tampak berlutut di tepian parit yang berair jernih, dan di parit itulah keduanya mencuci muka—menghilangkan segala peluh yang bercucuran di wajah masing-masing. Setelah itu, keduanya kembali melangkah, menuju ke sebuah pohon yang begitu rindang. Lantas, di bawah keteduhan pohon itulah keduanya tampak duduk beristirahat.
Kini Bobby tampak mengeluarkan air minum yang dibawanya, kemudian bersama-sama melepas dahaga. "Wi, lihatlah burung-burung itu! Mereka tampak riang beterbangan ke sana-ke mari,"  unjuk pemuda itu pada kekasihnya.
"Benar, Kak. Mereka terlihat begitu gembira menikmati padi-padi yang menguning itu," timpal Dewi seraya bersandar di dada kekasihnya, bersamaan dengan itu Bobby tampak berpangku dagu di kepalanya.
Kedua muda-mudi itu terus bermanja-manja sambil memandangi kawanan pipit yang masih saja menari di tengah sawah. Kawanan burung itu terbang bersama, sejenak berputar-putar di atas hamparan padi, kemudian hinggap lagi untuk kembali menikmati butiran padi.
"Wi, aku mencintaimu," ucap Bobby seraya membelai lembut rambut Dewi.
"Aku juga, Kak. Cintaku hanya untukmu," ucap Dewi seraya mendekap tangan Bobby yang kini sudah melingkar di pinggangnya.
"Wi? Aku sayang sekali padamu," ucap Bobby lagi seraya menghirup harumnya aroma rambut Dewi.
Saat itu Dewi terpejam, merasakan hembusan nafas yang terasa hangat, mengalir di sela-sela rambut ikal mayangnya. Sungguh saat itu kedua sudah kembali melupakan Tuhan, yang mana dampaknya akan mengotori hati sehingga manusia menjadi lebih cenderung menuruti keinginan.
Setelah puas beristirahat, kedua muda-mudi itu kembali melanjutkan langkahnya. Kini mereka mulai menaiki bukit, saat itu di kanan-kiri mereka tampak pepohonan rindang yang senantiasa melindungi keduanya dari terik sinar mentari. Kedua muda-mudi itu terus mendaki dan mendaki, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah pancuran bambu. Saat itulah keduanya kembali beristirahat, duduk berdampingan sambil menikmati suara gemercik air yang berpadu dengan kicauan burung, dan bunyi serangga.
“Nyaman sekali di sini ya, Kak,” komentar Dewi.
“Iya, Wi. Di tambah lagi dengan adanya dirimu di sisiku, suasana di tempat ini sungguh semakin bertambah nyaman.”
“Ah, Kakak bisa saja,” ucap Dewi tersipu.
“Sebentar ya, Wi! Aku mau mengisi tempat minum dulu,” pinta Bobby seraya melangkah ke pancuran untuk mengisi tempat minumnya yang sudah kembali kosong.
Tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali menemui kekasihnya. Namun belum sempat pemuda itu duduk, tiba-tiba dia melihat seekor kobra sedang merayap persis di belakang Dewi. “Jangan bergerak, Wi!” pinta pemuda itu memperingati.
Saat itu juga, jantung Dewi langsung berdegup kencang, dalam hati dia sudah bisa menduga kalau ada sesuatu yang mengancam jiwanya. Karenanyalah, saat itu dia tak berani bergerak walau hanya sedikit.
Tak lama kemudian, “Cepat kemari, Wi!” pinta Bobby lagi.
Mendengar itu, Dewi langsung menurut. Dia segera bangkit dan bergegas menghampiri Bobby, kemudian memeluknya erat. “Se-sebenarnya tadi ada apa, Kak?” tanya Dewi dengan disertai nafas yang terengah-engah.
“Tenanglah…! Tadi itu cuma seekor kobra yang sedang melintas di belakangmu, sekarang dia sudah menjauh. Rupanya ular itu tidak menyadari akan keberadaanmu, dan begitu mengetahuinya, dia pun langsung lari terbirit-birit. O ya, sebaiknya sekarang saja kita lanjutkan perjalanan!”
Kini mereka sudah kembali melanjutkan perjalanan, keduanya terus melangkah menyusuri  jalan setapak yang masih mendaki, hingga akhirnya mereka tiba di sebuah tanah terbuka. Saat itu hari sudah menjelang senja, sinar mentari pun sudah tak menyengat lagi.
Karena lelah, kedua muda-mudi itu memutuskan untuk duduk beristirahat di sebuah batu besar yang ada di tepian jurang. Sejenak mereka memandang lembah yang begitu indah, saat itu di kejauhan terlihat bukit hijau yang kini mulai berkabut.
Usai beristirahat sambil mengisi perut yang terasa lapar, keduanya tampak berbincang-bincang dengan penuh keceriaan. Tak lama kemudian, keduanya tampak beranjak bangun dan berdiri di tepian jurang, menikmati semilir angin sepoi-sepoi sambil mengagumi keindahan alam. Saat itu, rambut Dewi yang tergerai tampak terumbai-umbai tertiup angin. Melihat itu, tanpa sadar Bobby sudah menjamahnya, kemudian membelainya mesra dan merasakan kelembutannya. Pada saat yang sama, Dewi seketika merinding—merasakan belaian yang begitu membuai jiwa. Lalu, tanpa sadar dia sudah menatap Bobby sambil tersenyum manis. Saat itu, Bobby pun membalasnya dengan tatapan yang membuat Dewi kian tenggelam dalam candu asmara. Keduanya terus saling bertatapan dengan penuh hasrat bergelora, hingga akhirnya mereka pun saling berpelukan erat.
Kini Dewi sudah melepaskan pelukannya, matanya yang bening tampak memandang ke arah bukit yang begitu indah. Pada saat yang sama, Bobby segera memeluknya dari belakang. Keduanya tampak bermanja-manja sambil menikmati matahari yang mulai tenggelam. Kedua muda-mudi itu terus menatap bukit yang dihiasi bias mentari yang keemasan, sungguh pemandangan yang sangat indah. Sampai akhirnya sang mentari tenggelam di balik bukit dengan dihiasi warna merah, jingga. Saat itu, tanpa mereka sadari noda hitam di hati masing-masing tampak kian melebar.
"Bob, sebaiknya kita segera melanjutkan perjalanan!" saran Dewi.
"Benar, Wi. Kita harus-cepat-cepat menemukan tempat bersinggah," timpal Bobby seraya mengajak kekasihnya meninggalkan tempat itu.
Kini mereka kembali menyusuri jalan setapak. Saat itu malam tampak mulai menyelimuti senja. Dewi yang sedikit takut terlihat berpegangan erat pada lengan kekasihnya.
"Kak, apakah anak buah Pak Wangsa sudah mengejar kita?" tanya gadis itu agak khawatir.
"Hmm... tentu saja. Tapi aku yakin, mereka sudah salah jalan. Jika tidak, seharusnya mereka sudah melewati jalan ini."
“Benarkah?” tanya Dewi Ragu.
"Benar, Wi. Namun jika mereka sudah menyadari kekeliruannya, mereka pasti akan melalui jalan ini juga?"
Sambil berbincang-bincang, kedua muda-mudi itu terus berjalan menembus gelapnya malam, menyusuri jalan setapak yang kini mulai terlihat samar-samar. Untunglah cahaya rembulan masih cukup membantu keduanya hingga tetap berada di tengah jalan. Kini mereka mulai memasuki gerbang perkampungan, di kiri mereka tampak tebing terjal yang menjulang tinggi, dan di kanannya terlihat jurang yang menganga. Keduanya terus berjalan sambil tetap memperhatikan jalan yang kini semakin tak terlihat. Hal itu dikarenakan awan mendung yang kian menghalangi rembulan.
Kedua muda-mudi itu terus melangkah dengan sangat hati-hati, sebab bila lengah sedikit saja, mereka akan terperosok ke dalam jurang yang sangat dalam.  Kini jalan yang mereka lalui sudah tak terlihat, keadaan di sekelilingnya pun  sudah gelap gulita. Saat itu, Bobby langsung menyalakan obor yang diambilnya dari dalam tas. Seketika itu pula, api yang kemerahan tampak membakar lemak hewan yang mengitari kayu, sinarnya yang redup mampu menerangi jalan yang kini mulai tampak basah. Rupanya gerimis mulai turun membasahi bumi.
Lantas dengan penuh waspada, kedua muda-mudi itu kian mempercepat langkah mereka, hingga akhirnya mereka melihat sebuah rumah tua dengan pekarangan yang dipenuhi oleh semak belukar. Rumah itu tampak begitu besar, di salah satu sudutnya terdapat sebuah menara bekas antena radio. Namun belum sempat kedua muda-mudi itu sampai di pekarangan, tiba-tiba gerimis sudah semakin deras. Dan tak lama kemudian, hujan pun turun dengan lebatnya, diiringi bunyi halilintar yang begitu menakutkan. Seketika itu, keduanya langsung berlari memasuki rumah tua yang memang sudah tidak begitu jauh.
Kini mereka sedang berdiri di ruang tamu sambil mengamati keadaan  di sekelilingnya. Keadaan ruangan itu sungguh tampak menyeramkan, sarang laba-laba ada dimana-mana, bahkan di sana-sini banyak berserakan serpihan rumah yang termakan usia. Ketika mereka tengah mengamati ruangan itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh gelegar halilintar yang menyambar menara di luar rumah. Tak ayal, saat itu sebuah tiang kayu ambruk dan hampir menimpa kepala mereka. Dewi yang begitu terkejut, langsung menjerit histeris dan memeluk Bobby erat. "Kak... aku takut sekali," ucapnya lirih.
Saat itu Bobby langsung mendekapnya, "Tenanglah, Sayang...! Kau tidak perlu takut! Aku akan selalu di sisimu untuk melindungimu," ucap Bobby seraya mengecup kening kekasihnya.
Sungguh kecupan itu mampu membuat Dewi menjadi lebih tentram. Seiring dengan itu, sebuah senyum tampak tersungging di bibirnya. Melihat itu, Bobby pun segera meraih tangan kekasihnya dan mengajaknya memasuki ruang tengah. Setibanya di ruangan itu, Bobby tampak mengamati keadaan di sekelilingnya dengan bantuan cahaya obor yang kian meredup. Dan ketika sampai di dekat pendiangan, keduanya lantas berhenti.
Kini Bobby menurunkan tas yang dibawanya, kemudian bergegas mengumpulkan serpihan kayu dan meletakkannya di dalam pendiangan. Lantas dengan segera dia menyalakannya, menggunakan obor yang ada di tangan. Saat itu, cahaya temaram dari pendiangan langsung membias menerangi penjuru ruangan. Bersamaan dengan itu, Bobby tampak memadamkan obornya, kemudian segera menggelar tikar lipat yang dibawanya.
Kini kedua muda-mudi itu sudah duduk di atas tikar seraya menghangatkan diri di depan perapian. Namun sayangnya, hangatnya api pendiangan itu tak mampu menembus pakaian mereka yang basah. Akibatnya, mereka pun tetap menggigil kedinginan. Karena tak kuat menahan dingin, mereka pun terpaksa duduk merapat untuk mengurangi rasa dingin yang kian menusuk.
Di luar, hujan tak kunjung reda. Malam pun sudah semakin larut. Di sudut ruangan terdengar suara burung hantu yang berkukuk. Mendengar itu, seketika Dewi bergidik dan semakin merapatkan dirinya pada sang kekasih. Menyadari itu,  Bobby pun langsung mendekapnya erat. Lantas, seiring dengan nafsu binatang yang kini mulai merasukinya, pemuda itu segera merebahkan kekasihnya di atas tikar. Lalu dengan sangat bernafsu, dia mulai menciumi leher gadis itu dengan tanpa ada keraguan sedikit pun. Kesediaan Dewi saat itu sungguh telah membuatnya menjadi gelap mata. Di tambah lagi dengan rasa dingin yang begitu menusuk, sungguh membuatnya tak mampu lagi menahan hasrat birahi. Kini tangan pemuda itu mulai menjalar ke bagian yang paling terlarang. Namun tiba-tiba, "Kak Bobby! Apa yang kau lakukan?" Bentak Dewi seraya meronta dan berdiri menjauh.
"Wi, Kenapa? Ayolah! Kau jangan mengecewakan aku, mari kita saling memberi kehangatan!" pinta Bobby berharap.
"Tidak, Kak. Kita tidak boleh melakukan itu."
"Ayolah, Wi...! Aku sudah sangat kedinginan. Apakah kau tidak merasakannya ."
"Iya, Kak. Aku pun merasakannya. Tapi, kita tidak sepantasnya melakukan semua ini," jelas Dewi.
"Ayolah, Wi...! Apakah kau sudah tidak mencintaiku?" tanya Bobby.
"Aku sangat mencintaimu, Kak. Tapi..."
"Kalau kau memang mencintaiku, ayolah kemari! Kita saling menghangatkan diri," pinta Bobby memotong perkataan Dewi.
"Sadarlah, Kak! Kalau kau memang mencintaiku, aku harap kau bisa menahan diri! Bukankah kau termasuk orang yang taat beribadah, mintalah kepada Tuhan agar selalu melindungimu dari godaan setan yang terkutuk. Terus terang, aku menyesal telah membiarkanmu menyentuhku sampai sejauh itu. Kini aku sadar, rupanya hal itulah yang menyebabkan tidak diperbolehkannya lelaki dan perempuan yang bukan muhrimnya untuk berdua-duaan. Sebab, kini aku merasakannya sendiri, betapa hal itu memang sulit untuk dihindari. Naluri kita sebagai sebagai manusia, tak mungin lepas dari keinginan itu. Kak, aku takut sekali. Bagaimana jika Tuhan sudah tak mau memperingati kita lagi."
Dengan serta-merta Bobby terdiam, dia tampak memandang kekasihnya dengan penuh penyesalan. Lantas saat itu juga kobaran api birahi telah sirna seketika, seiring dengan kesadarannya akan kekeliruan yang baru saja diperbuatnya. Setan memang lihai, sehingga makhluk laknat itu hampir saja membuatnya melakukan perbuatan terlarang. Begitulah manusia yang masih lemah iman, jangankan mengalami kejadian yang dialami Bobby, baru pembaca cerita ini saja bisa membuatnya terangsang. Dan itu menandakan manusia yang demikian  masih mempunyai potensi untuk berzinah. Jadi, berhati-hatilah!
Kini Bobby tampak bangkit dari duduknya, kemudian melangkah menghampiri Dewi. "Maafkan aku, Wi! Aku benar-benar telah gelap mata," ucap Bobby menyesal.
"Sungguh! Kau benar-benar sudah menyadari kekeliruanmu?" tanya Dewi ragu.
"Iya, Wi. Kini aku benar-benar sadar kalau perbuatan itu memang tidak sepantasnya kita lakukan," jawab Bobby.
Setelah mendengar jawaban itu, akhirnya Dewi mengajak Bobby untuk duduk kembali, kemudian memintanya merapatkan tubuh, sekedar memberi kehangatan, tidak lebih. Karena lelah, akhirnya mereka tertidur dengan tubuh saling berdekapan erat. Lagi-lagi mereka telah berbuat tidak semestinya, walaupun dengan alasan cuma saling memberi kehangatan. Sungguh setan memang sangat lihai memperdaya manusia dengan segala alasan yang tampaknya baik namun pada kenyataannya tidak. Untunglah kondisi iman mereka kini sudah lebih baik, sehingga mereka masih bisa menahan diri. Andai saja iman mereka kembali melemah, tentu mereka tidak akan mampu menahan diri. Sementara itu, di luar hujan masih turun dengan lebatnya. Sesekali halilintar masih terdengar di kejauhan, dan sepertinya badai akan segera berlalu.



Esok paginya matahari bersinar cerah, sinarnya yang hangat memasuki ruangan melalui celah-celah genting yang pecah serta tembok yang retak. Di luar rumah, burung-burung tampak berkicau merdu, melompat riang di atas ranting pepohonan. Saat itu Bobby dan Dewi masih tertidur pulas, dengan tubuh yang masih berpelukan. Tiba-tiba Bobby terbangun, dia tampak mengucek kedua mata seraya memperhatikan sekelilingnya.
"Wi? Bangun, Wi!" Kata Bobby seraya merapikan pakaiannya yang sudah kering di badan, saat itu  tubuhnya dirasakan sudah segar kembali. 
"Hmm... ada apa, Kak?" tanya Dewi seraya mengucek kedua matanya.
"Sudah siang, Wi. Ayo sebaiknya kita segera berkemas!"
Mengetahui itu, Dewi pun segera bangun dan merenggangkan persendiannya, kemudian dia duduk di sebelah Bobby yang kini sedang membuka tasnya guna mengambil bekal yang tinggal sedikit. Setelah itu keduanya tampak menikmati sarapan bersama-sama.
Usai sarapan, Dewi tampak sibuk menyisir rambutnya yang kusut. "Kak, kita harus segera meninggalkan tempat ini! Aku khawatir anak buah Pak Wangsa sudah menyadari kekeliruannya dan sedang menuju ke sini," katanya sambil terus menyisir.
Kemudian Dewi menceritakan tentang anak buah Pak Wangsa yang diketahuinya sangat kejam, dan dia mengetahui semua itu dari Pak Amir yang selalu memberikan informasi kepadanya.
"Apa benar Pak Gahar sekejam itu, Wi?" tanya Bobby sambil terus sibuk membenahi barang-barangnya.
"Benar Kak! Dia itu seorang pembunuh berdarah dingin. Dan dia tidak segan-segan membunuh siapa saja agar keinginannya tercapai."
"Kalau begitu, sebaiknya kita harus segera berangkat, Wi. Aku khawatir kalau dia benar-benar berhasil menemukan kita," kata Bobby seraya bergegas mengenakan tas miliknya. "Ayo, Wi!" ajaknya kemudian seraya meraih tangan Dewi yang saat itu juga baru selesai mengenakan tas yang dibawanya.
Tak lama kemudian, mereka sudah melanjutkan perjalanan. Hingga akhirnya mereka tiba di perumahan penduduk dan berniat mencari perbekalan di sana. Kini Bobby tampak sedang menanyakan perihal rumah Pak Kepala Desa kepada seorang lelaki yang ditemuinya.
"O, kalau rumah Pak Kepala Desa ada di sebelah sana," jelas lelaki itu seraya menunjuk ke arah rumah yang terlihat cukup besar.
"Kalau begitu, terima kasih, Pak!" ucap Bobby seraya tersenyum ramah.
"Sama-sama, Den," balas lelaki itu seraya ikut tersenyum.
Saat itu, Bobby langsung menggandeng lengan Dewi dan mengajaknya menuju ke rumah yang dimaksud. Setibanya di sana, Bobby dan Dewi langsung dipersilakan masuk, kemudian disuguhi dengan makanan dan minuman ala kadarnya. Kini Bobby mulai menceritakan maksud kedatangannya. Pada saat itu Pak Kepala Desa tampak mendengarkannya dengan rasa prihatin, hingga akhirnya dia pun mulai berbicara, "Sungguh keterlaluan si Wangsa itu, tidak selayaknya dia dibiarkan hidup di muka bumi ini. Dengan seenaknya dia ingin menikahi seorang gadis hanya untuk bersenang-senang."
"Benar Pak! Orang seperti itu memang tidak pantas dibiarkan hidup. Selama ini dia telah membodohi kedua orang tua Dewi dengan cara mengiming-imingi harta benda, hingga akhirnya mereka pun lebih membela orang itu ketimbang anaknya sendiri."
Lantas Bobby kembali melanjutkan ceritanya, hingga akhirnya dia meminta bantuan perbekalan guna melanjutkan perjalanan.
"O... jadi begitu," kata Pak Kepala Desa mengerti.
"Betul Pak! Kami memang harus lari sejauh mungkin. Sebab jika tidak, anak buah Pak Wangsa pasti akan menemukan kami. Karena itulah kami butuh bekal agar bisa melanjutkan perjalanan," jelas Bobby penuh harap.
"Aku benar-benar prihatin dengan kehidupan yang harus kalian jalani. Kalau Wangsa mengadukan hal ini kepada pihak yang berwajib, tentu akan semakin rumit. Karena hukum pasti akan memihak kepadanya."
"Benar Pak! Aku pasti akan mendekam di penjara karena dituduh melarikan anak gadis orang. Walaupun itu kulakukan demi untuk menyelamatkannya."
"Kalau begitu, untuk sementara kalian boleh tinggal di sini, dan aku akan melindungi kalian sebisa mungkin. Anak buahku yang bernama Pak Dirman akan kutugaskan untuk mengawasi setiap orang yang masuk ke desa ini. "
"Kalau begitu, terima kasih banyak, Pak!" ucap Bobby lagi.
Kemudian Pak Kepala Desa mempersilakan Dewi untuk beristirahat di kamar anak perempuannya, sedangkan Bobby terlihat berbincang-bincang dengan Pak Kepala Desa.



Malam harinya, mereka mendengar kabar dari Pak Dirman, bahwa seorang pria berwajah seram dengan kumis melintang dan seorang yang berwajah tampan datang mencari keduanya. Tak diragukan lagi, mereka memang Pak Gahar dan Pak Amir, yang ditugaskan untuk mencari Dewi. Untuk sementara, Pak Kepala Desa menyuruh Bobby tetap berada di rumahnya, sedangkan dia akan melindungi mereka sebisa mungkin. Sementara itu di tempat lain, Pak Gahar terlihat sedang menanyakan buruannya hampir ke semua penduduk desa. Dengan sepucuk pistol dia mengancam orang-orang desa untuk tidak berbohong. Untunglah mereka tidak ada yang tahu, hingga akhirnya Pak Gahar tiba di rumah Pak Kepala Desa.
Kini lelaki itu tampak berdiri di muka pintu sambil menggenggam pistol di tangan kanannya. Kemudian dengan tangan kirinya, lelaki kasar itu menggedor pintu rumah itu berkali-kali. Mengetahui itu, Pak Kepala Desa tidak tinggal diam, dia segera memerintahkan Bobby dan Dewi untuk pergi ke rumah Pak Kosim yang berada di atas bukit.
"Lekas, Nak Bobby! Pergilah ke sana! Mengenai perbekalanmu akan kusuruh Pak Dirman untuk mengantarnya."
"Baiklah, Pak. Terima kasih atas segala bantuannya!"
Kemudian Bobby dan Dewi segera pergi lewat pintu belakang, sedangkan Pak Kepala Desa segera menemui Pak Gahar yang masih berdiri di muka pintu. Begitu daun pintu terbuka, dilihatnya Pak Gahar tampak berdiri dengan wajah yang begitu marah.
"Kenapa lama betul?" tanya Pak Gahar dengan suara berat.
"Ma-maaf, Pak! Aku sedang sibuk di belakang. Eng... Kalau boleh kutahu, sebenarnya ada keperluan apa?" tanya Pak Kepala Desa pura-pura tidak tahu.
"Hmm.... begini, Pak. Kami sedang mencari dua orang pelarian, dan kami ingin mendapat informasi dari Bapak."
"O… Ka-kalau begitu, ayo silakan masuk!"
 Pak Gahar dan Pak Amir segera masuk, kemudian mereka duduk di ruang tamu guna memperbincangkan masalah itu. Pada saat yang sama, Bobby dan Dewi sedang dalam perjalanan, mereka tampak melangkah dengan hati-hati sekali. Maklumlah, jalan menuju rumah Pak Kosim memang sangat terjal, apalagi gelapnya malam semakin membuat jalan itu sulit dilalui. Namun begitu, mereka tetap harus ke sana. Jika tidak, mereka tentu akan tertangkap. Bobby dan Dewi terus melangkah, menyusuri jalan setapak yang tampak samar lantaran obor yang di pegang Bobby terus berkibar-kibar tertiup angin malam yang dingin.
"Kak? Malam ini dingin sekali, sepertinya mau turun hujan," kata Dewi seraya mempererat pegangan tangannya. Saat itu, tiba-tiba kilat membias di sekeliling mereka, kemudian disusul dengan suara guntur yang cukup keras. Mendengar itu, seketika Dewi terkejut dan langsung memeluk erat kekasihnya. "Kak, aku takut sekali. Tampaknya hujan benar-benar sudah mau turun," ungkap gadis itu khawatir.
"Kalau begitu, ayo lekas, Wi! Sepertinya hujan memang sudah mau turun."
Lantas kedua muda-mudi itu segera mempercepat langkah mereka. Benar saja, tak lama kemudian hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi. Suara guntur pun semakin sering terdengar, diiringi dengan angin yang terus bertiup kencang. Bobby dan Dewi terus berlari kecil menyusuri jalan setapak yang menaiki bukit. Saat itu, obor di tangan Bobby tampak sudah semakin meredup.
Lihat, Wi!" seru Bobby ketika melihat sebuah rumah di kejauhan.
"Apakah itu rumah Pak Kosim?" tanya Dewi memastikan.
"Tidak salah lagi, Wi. Lihatlah pohon kelapa bercabang itu!"
"Kau benar, Kak. Itu memang rumah Pak Kosim."
Lantas, kedua muda-mudi itu semakin mempercepat lari mereka, hingga akhirnya mereka tiba di pekarangan rumah Pak Kosim. Saat itu, hujan lebat sudah menyiram keduanya. Bahkan ketika mereka sudah berdiri di muka pintu, butiran hujan masih saja menyiramnya--terhempas angin yang begitu kencang. Sesekali, kilat tampak membias dengan diiringi guntur yang menggelegar keras.
"Assalamu’alaikum...!" ucap Bobby dengan suara keras.
Tak lama kemudian, Pak Kosim sudah membukakan pintu dan mempersilakan keduanya masuk. Kini ketiganya tampak duduk dengan beralaskan tikar pandan, sat itu Bobby pun langsung menceritakan maksud kedatangannya.
"O... jadi begitu. Baiklah, malam ini kalian boleh menginap di sini," kata Pak Kosim mengerti.
"Terima kasih, Pak!" ucap Bobby senang.
Bobby dan Pak Kosim terus berbincang-bincang, sedangkan Dewi tampak merebahkan diri di atas hamparan tikar pandan yang harum mewangi. Sementara itu, di rumah Pak kepala Desa, Pak Gahar dan Pak Amir tampak masih berbincang-bincang. "Hmm... jadi Bapak benar-benar melihat mereka," kata Pak Gahar seraya memilin kumisnya yang melintang.
"Benar, Pak! Mungkin mereka langsung pergi ke Desa Mahoni," jelas Pak Kepala Desa.
"Hmm... Desa Mahoni, kalau begitu mereka akan tiba di sana dalam waktu yang cukup lama," kata Pak Gahar yang sudah sekian lama malang-melintang di bumi Parahiyangan.
"Benar, Pak! Desa itu memang cukup jauh. Untuk sementara sebaiknya kalian tinggal di desa ini saja, kuda-kuda kalian kan butuh makan dan istirahat," saran Pak Kepala Desa.
"Benar juga apa yang di katakan Pak Kepala Desa ini, Har. Sebaiknya kita tinggal saja di desa ini untuk sementara waktu. Toh mereka juga tidak akan sampai lebih dulu," timpal Pak Amir.
"Baiklah... Untuk sementara kita tinggal di desa ini," kata Pak Gahar menyetujui. 
Di rumah Pak Kosim, Bobby dan orang tua itu masih saja berbincang-bincang, dan tak lama kemudian Pak Kosim bangkit dari duduknya, "Nak Bobby, sepertinya hari sudah larut. Sebaiknya sekarang kau beristirahat! Saat ini, Bapak pun mau istirahat."
"Iya, Pak. Selamat malam!"
"Selamat malam!" balas Pak Kosim seraya melangkah menuju ke kamarnya.
Kini Bobby merebahkan diri di sisi kekasihnya, sejenak dia memperhatikan Dewi yang saat itu sedang tertidur pulas. Seketika, pikiran kotor mulai merasuki otaknya. Berkali-kali dia memandangi wajah Dewi yang tampak begitu cantik. Bahkan saat itu dia ingin sekali mencumbuinya, namun karena pengalamannya di rumah tua, akhirnya dia membatalkan niatnya. Kini dia berusaha untuk tidur, dalam hati dia terus beristigfar dan memohon kepada Tuhan untuk menjauhinya dari segala bisikan setan yang menyesatkan. Karena kantuk dan rasa lelah, akhirnya Bobby tertidur juga. Suara jangkrik di luar rumah terdengar mengisi kesunyian malam yang baru saja diguyur hujan. Angin malam yang dingin berhembus masuk melalui sela-sela lubang angin, saat itu hawa dingin menyelimuti kedua muda-mudi yang mungkin sedang bermimpi indah.