E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Misteri Kehadiran Arwah - Bagian 5

Lima




Masih di hari yang sama. Di sebuah ruangan perkantoran terdapat delapan buah meja kerja yang tertata rapi. Di atas meja-meja itu terdapat sebuah komputer, pesawat telepon, dan beberapa keperluan tulis-menulis. Di salah satu sudut ruangan itu terlihat dua buah cabinet yang berdiri kokoh, sedangkan di sudut yang lain terdapat sebuah mesin foto copy yang berdampingan dengan sebuah mesin Fax.
Kini di ruangan itu hanya terlihat tiga orang pegawai yang sedang menyelesaikan tugas-tugasnya. Salah satunya adalah Branden yang sedang sibuk menyiapkan laporan. Tak lama kemudian, sekretaris Pak Heru yang bernama Bu Siska terlihat memasuki ruangan. Dia langsung menghampiri Branden yang terlihat masih saja sibuk. "Maaf, Pak! Tolong disusun berkas-berkas ini!" pintanya seraya menyodorkan beberapa buah map kepada Branden.
Branden yang agak terkejut dengan kedatangan Bu Siska tampak mengatur posisi duduknya, kemudian dengan segera dia mengambil map-map yang disodorkan itu.
"Saya harap besok sudah selesai, Pak!" sambung Bu Siska berharap.
Branden tidak berkata apa-apa, dia tampak membaca tulisan yang tertera di muka map itu.
"Maaf, Bu! Bukankah berkas-berkas ini seharusnya diserahkan ke Pak Heru," kata Branden sopan.
"Iya, saya tahu. Tapi Pak Heru sendiri yang menyuruh saya menyerahkannya ke Bapak. Kalau Bapak tidak mau, ya tidak usah dikerjakan! Tapi ingat, Bapak akan menanggung segala akibatnya," kata Bu Siska mengancam.
"Oh, kalau begitu! Baiklah Bu, saya akan mengerjakannya secepat mungkin," janji Branden seraya mengatur kembali map-map itu dan meletakkannya di atas meja.
"Jangan lupa! Besok kau sendiri yang menyerahkannya kepada saya!"
"Tapi, Bu..." Belum sempat Branden menyelesaikan kalimatnya, Bu Siska langsung memotong. "Maaf! Sekarang saya tidak punya banyak waktu, permisi!" pamit wanita itu seraya beranjak pergi dengan sikap berjalan yang begitu angkuh.
Branden tampak geleng-geleng kepala seraya bersandar di kursinya, sedangkan kedua matanya terus memperhatikan kepergian Bu Siska. Ketika Branden akan memulai bekerja kembali, tiba-tiba HP-nya yang tergeletak diatas meja berdering.
“Hmm… ini nomor siapa?” tanya Branden heran.  Lantas dengan segera dia mengangkat telepon itu, "Ya, hallo!" sapanya.
"Ayah!" suara Rani tiba-tiba terdengar di seberang sana.
"O, kau, Nak. Ayah kira siapa. Ngomong-ngomong, kau pakai HP siapa?” tanya Branden.
“HP teman, Yah. Soalnya HP Rani lagi lowbat.”
“O begitu… O ya, ngomong-nomong… kau lagi di mana, Sayang...?" tanya Branden lagi.
"Rani lagi di Restoran. Sama teman, Yah," jawab Rani.
"O ya, sebenarnya siapa temanmu itu?" tanya Branden menyelidik.
"Pokoknya teman," jawab Rani singkat.
"Ya sudah… ngomong-ngomong, kapan kau pulang?"
"Yaaa... mungkin sebentar lagi. Tapi, Rani tidak langsung pulang ke rumah. Rani mau menjemput Ayah."
"Tidak usah, Sayang...! Ayah bisa pulang sendiri. Lagi pula, bukankah kau lelah. Sebaiknya kau langsung pulang saja!"
"Tidak, Ayah! Pokoknya Rani mau jemput Ayah," ucap Rani berkeras.
"Baiklah kalau begitu... Ayah akan menunggumu," ucap Branden mengalah.
"Terima kasih, Ayah! Kalau begitu, sudah dulu ya! Sampai nanti," ucap Rani seraya memutuskan sambungan.
Kini Rani tampak memandang Jodi sambil tersenyum manis, "Ini, Jo. Terima kasih ya!" ucapnya seraya menyerahkan HP milik pemuda itu.
"Bagaimana, jadi menjemput ayahmu?" tanya Jodi seraya menanggapi HP-nya dan langsung menyimpannya di saku.
Rani mengangguk seraya tersenyum tipis.
"Kalau begitu, mari kita berangkat!" ajak Jodi seraya bangkit dari duduknya dan langsung menggandeng Rani.
Tak lama kemudian, kedua muda-mudi itu sudah keluar Restoran. Kini mereka sedang menuju ke mobil yang diparkir tak jauh dari pintu masuk. Setibanya di mobil, Jodi langsung membukakan pintu untuk kekasihnya. Setelah itu, dia pun bergegas masuk dan langsung memacu mobilnya menuju ke kantor Branden.
Di perjalanan, Rani tampak senyam-senyum sendirian. Dia sangat gembira karena akan menjemput ayahnya bersama sang Pujaan hati, sedangkan Jodi terus memperhatikan jalan dan sekali-kali menatap wajah Rani yang masih saja terlihat ceria. "Kau tampak senang sekali, Sayang..." komentarnya atas keceriaan itu.
"Tentu saja, aku sudah membayangkan bagaimana bahagianya Ayah ketika melihatmu nanti."
"O… begitu," ucap Jodi mengangguk-angguk.
Sedan mewah yang dikemudikan Jodi terus melaju menyusuri jalan raya. Ketika sampai di pertengahan jalan, tiba-tiba Jodi membelokkan mobilnya ke sebuah jalan alternatif.
"Kok lewat sini, Jo…" tanya Rani bingung.
"Tenang… Aku cuma mau menghindari kemacetan. Aku hafal benar dengan seluk-beluk jalan di sini, nanti kita juga akan kembali lagi ke jalan utama," jelas Jodi.
"O… begitu, Syukurlah! Itu artinya kita bisa menjemput Ayah lebih cepat," ucap Rani senang.
Tiba-tiba, mobil mewah itu berhenti di depan sebuah penginapan. Mengetahui itu, Rani langsung bereaksi, "Kenapa berhenti di sini, Jo?" tanyanya heran.
"Sebentar ya! Aku mau menemui seseorang yang menginap di sini," jawab Jodi.
Rani tampak berpikir, kemudian menatap kekasihnya seraya tersenyum. "Jangan lama-lama ya, Jo!" pesannya kemudian.
"Aku Janji," ucap Jodi seraya mengacungkan kedua jarinya. Setelah itu dia segera melangkah memasuki penginapan.
Benar saja. Beberapa menit kemudian Jodi sudah kembali, kemudian dia langsung duduk di sisi kekasihnya. "Tidak lama, kan?" tanyanya seraya tersenyum.
Rani tampak mengangguk, "Memangnya siapa sih, Jo?" tanyanya kemudian.
"Rekan bisnis ayahku. Tadi pagi, Ayah memintaku untuk menyampaikan sebuah amanat. Tapi, karena tadi pagi orang itu ada kesibukan, akhirnya dia memintaku untuk menemuinya di sini, pada waktu ini."
Rani tidak bertanya-tanya lagi, dia percaya dengan semua ucapan kekasihnya. Tak lama kemudian, sedan mewah yang mereka tumpangi sudah kembali ke jalan utama.
Jodi terus mengemudikan mobilnya, sejenak dia melirik ke arah Rani. Dilihatnya wajah gadis itu tampak begitu mempesona. Dalam hati dia berkata, "Kau benar-benar cantik, Sayang... Malam ini kau pasti tidak mungkin bisa menolak keinginanku. Soalnya, obat perangsang yang kudapat dari temanku tadi sangat manjur."
Pemuda itu terus memikirkan niat jahatnya. Sementara itu, sedan mewah yang mereka tumpangi terus melaju, merayap dalam kemacetan yang memang sudah menjadi rutinitas Ibu Kota. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, akhirnya sedan mewah itu tiba di kantor Branden.
Ketika Jodi baru memarkir mobilnya, tiba-tiba terdengar nada lagu ‘Pretty Woman’ dari HP yang ada di saku bajunya. Pada saat itu Rani tampak memandang wajah Jodi dengan penuh tanda tanya, sebab nada kali ini berbeda dengan nada yang sebelumnya pernah didengar. "Hmm... siapa sih yang menelepon Jodi dengan nada spesial ini," tanyanya dalam hati.
Jodi tampak memandang Rani dengan sedikit gugup, kemudian dia segera menerima telepon yang masuk itu.
"Hallo, Jo!" terdengar suara seorang gadis yang ternyata teman sekelasnya ketika masih di SMA dulu. "Kau sedang apa? Apakah aku mengganggumu?" tanya gadis itu kemudian.
"Oh, tidak. …kau sama sekali tidak menggangguku. Saat ini aku sedang bersama Rani, menunggu ayahnya pulang," jawab Jodi.
"Bagaimana kabarmu?" Jodi balik bertanya.
"Aku baik-baik saja," jawab gadis itu.
Saat itu Rani memandang Jodi dengan penuh curiga, sedangkan Jodi tampak meliriknya seraya tersenyum.
"Iya-iya.…" Suara Jodi kembali terdengar. "Baik-baik," katanya kemudian.
"O ya, bagaimana kabar sepupumu itu?" tanya gadis itu lagi.
"Baik juga," jawab Jodi singkat.
"O ya, sampaikan salamku untuknya, ya!"
"Iya, akan kusampaikan."
"Oke deh… thanks ya! Bye..." ucap gadis itu mengakhiri pembicaraan.
"Bye..." balas Jodi seraya memutuskan sambungan dan menyimpan HP-nya kembali.
"Siapa sih?" tanya Rani tiba-tiba.
"Teman lama," jawab Jodi singkat.
"Wanita?"
Jodi mengangguk. "O ya, tadi dia titip salam untukmu," katanya kemudian.
"Lho, apa dia mengenalku?"
"Tentu saja, selama ini  aku kan selalu jujur pada siapa saja, termasuk pada temanku itu. Waktu itu dia pernah melihat kita jalan berdua, lalu aku memberitahunya kalau kau adalah pacarku yang paling kusayang," jelas Jodi.
Rani tersipu mendengar perkataan Jodi barusan, kemudian dia memandang ke arah pintu kantor memperhatikan pegawai yang keluar-masuk.
"Biasanya ayahmu keluar pukul berapa?" tanya Jodi.
"Biasanya pukul segini beliau sudah keluar kok," jawab Rani.
Keduanya terus menunggu sambil berbincang-bincang. Sementara itu di ruang kantor, Branden terlihat sedang menyimpan berkas kerjanya di laci meja bagian bawah. Ketika baru menutup laci itu, tiba-tiba dia dikejutkan oleh sepasang kaki wanita yang dilihatnya tengah berdiri di depan meja kerjanya. Sepasang kaki itu mengenakan selop hitam yang terbuat dari kulit buaya.
Perlahan Branden mengangkat kepala untuk melihat wanita yang berdiri di hadapannya. Ternyata wanita itu sudah berusia separuh baya, penampilannya terlihat begitu rapi dan tampak berwibawa. Dengan segera Branden berdiri tegak di hadapan wanita itu, "Selamat sore, Bu!" ucapnya sopan. Rupanya Branden sedang berhadapan dengan atasannya yang selama ini paling dihormati.
"Bapak belum pulang?" tanya sang Atasan.
"Sebentar lagi, Bu. Saat ini saya masih sibuk beres-beres," jawab Branden.
Kini sang Atasan tampak mengambil sebuah Map berwarna hijau yang masih tergeletak di atas meja kerja Branden, kemudian memperhatikan tulisan di muka map dan melihat isinya. "Loh... kenapa ini ada di sini?" tanya atasannya heran.
"Saya akan menyelesaikannya di rumah, Bu, " jawab Branden.
"Bukan, bukan itu maksudku. Lihat ini! Ini kan berkas yang saya tugaskan kepada Pak Heru. Kenapa berkas ini bisa ada padamu?"
"Aduh, Bu. Saya mohon maaf! Bu Siska yang menyuruh saya untuk mengerjakannya," jawab Branden terus terang.
"Sekarang di mana Bu Siska?" tanya atasannya yang terlihat agak marah.
"Sudah pulang, Bu!" jawab Branden.
Sang Atasan tampak mengerutkan kening, kemudian kembali berkata. "Kau tahu, sebenarnya berkas ini tidak boleh diketahui oleh pegawai sepertimu. Tapi tidak apalah, sudah terlanjur. Kau kerjakan saja berkas ini dengan baik, besok langsung kau serahkan padaku. O ya, sekalian tolong bilang sama Bu Siska agar menemui saya besok, pukul sepuluh!"
"Ba-Baik Bu," jawab Branden gugup.
"Kalau begitu, sekarang saya pergi. Selamat sore!" pamit wanita itu.
"Selamat sore, Bu!" ucap Branden seraya memperhatikan atasannya melangkah pergi.
Kini Branden tampak gelisah. Di benaknya terlintas berbagai hal yang akan dihadapinya besok. “Aduh, hampir saja aku lupa,”  kata Branden tiba-tiba  teringat dengan putrinya yang akan datang menjemput, "Hmm... mungkin saat ini Rani sedang menungguku. Kalau begitu, aku harus cepat-cepat menemuinya,” gumam Branden seraya membereskan map-map di atas meja dan memasukkannya ke dalam tas kantor, kemudian dengan terburu-buru dia melangkah ke luar.
Sementara itu di dalam mobil, Rani tampak gelisah, dia terus memikirkan ayahnya. "Apa yang sedang beliau lakukan di ruang kerjanya, ya?" tanya gadis itu dalam hati.
Namun ketika melihat sang Ayah keluar gedung, Rani pun langsung gembira. "Itu ayahku, Jo," ucapnya riang.
Kemudian dengan segera gadis itu keluar mobil dan berlari menghampiri ayahnya. Kini keduanya sudah saling bertatap muka. "Ayah, kok lama sekali sih?" tanya Rani seraya menggandeng lengan ayahnya.
 "O, tadi masih ada pekerjaan yang mesti Ayah selesaikan," jawab Branden. "O ya, kau ke sini dengan siapa?" tanyanya kemudian.
Rani tidak menjawab, dia terus menggandeng lengan ayahnya menuju ke mobil. Setelah mereka mendekat, Jodi tampak keluar dari mobil dan melangkah menghampiri mereka. "Selamat Sore, Pak!" ucap Jodi seraya mengulurkan tangannya untuk berjabatan.
"Jo-Jodi…! Kau Jodi kan? Ha ha ha…! Apa kabar, Nak?" tanya Branden seraya berjabatan tangan dengan pemuda itu.
"Baik, Pak," jawab Jodi seraya melepaskan jabatan tangannya.
Branden benar-benar mendapat kejutan dengan hadirnya pemuda itu, dan dia tidak menyangka kalau Jodi-lah yang akan datang bersama putrinya. Kini Branden menatap Jodi dengan segala kerinduannya, kemudian keduanya tampak saling berpandangan dengan senyum di bibir masing-masing.
Tak lama kemudian, Jodi tampak membukakan pintu belakang untuk Branden. "Silakan, Pak!" ucapnya ramah. Setelah itu, dia tampak membukakan pintu depan untuk Rani. Setelah gadis itu masuk, Jodi pun bergegas masuk. Kini dia sudah duduk di depan kemudi seraya tersenyum kepada gadis yang duduk di sampingnya. Pada saat itu, Rani tampak tersipu dibuatnya. Akhirnya, sedan mewah yang mereka tumpangi segera melaju ke rumah Branden.
Setibanya di tempat tujuan, Jodi tampak memarkir mobilnya di pekarangan dan bergegas membukakan pintu mobil untuk Branden. Tanpa menunggu dibukakan, Rani segera keluar mobil dan bergegas membuka pintu rumahnya. Tak lama kemudian, ketiganya tampak sudah memasuki rumah.
Kini Branden dan Jodi sudah duduk di ruang tamu, mereka tampak berbincang-bincang dengan akrabnya. Pada saat itu, Rani sedang berada di dapur untuk membuatkan minum.
"O ya, Nak Jodi. Bagaimana kuliahmu di Tokyo?" tanya Branden.
"Kuliah saya lancar, Pak," jawab Jodi.
"Kapan selesainya?"
"Kira-kira satu tahun lagi, Pak."
"O…" Branden menatap Jodi dengan bangga.
Pada saat yang sama, Rani sudah kembali dengan membawa baki yang berisi dua gelas minuman dan beberapa makanan kecil, kemudian menyuguhkannya kepada mereka. "Ini tehnya, Ayah!" ucapnya kepada Branden. "Silakan, Jo!" ucapnya kepada Jodi. Lalu, dari bibir gadis itu tampak tersebar senyum kehangatan.
Jodi menatap Rani sejenak, kemudian tersenyum kepadanya. "Terima kasih, Sayang…!" ucapnya kemudian.
"Sebentar ya, Jo! Aku ganti baju dulu," kata Rani seraya melangkah pergi.
Sejenak Jodi memperhatikan kepergiannya, kemudian dia kembali memandang ke arah Branden. "O ya, Pak. Apa kebun Bapak masih menghasilkan?" tanya Jodi perihal kebun yang ada di belakang rumah.
"Waaah! Sekarang hasilnya sedikit, soalnya saya sudah jarang mengurus. Sekarang yang ada cuma tinggal pohon pepaya dan singkong, hasilnya pun cuma untuk makan sendiri," jelas Branden. "O ya, Nak. Silakan tehnya diminum! Makanannya juga coba dicicipi!"  sambungnya kemudian. 
Jodi segera meneguk minumannya, kemudian disusul dengan mencicipi makanan ringan yang sebenarnya tidak dia sukai. Pada saat yang sama, Rani tampak sudah kembali dengan membawa segelas minuman untuk dirinya sendiri. Kini dia sudah duduk di sebelah Jodi dan mengajaknya berbincang-bincang. Sementara itu, Branden tampak memandang keduanya dengan perasaan bahagia. Menurut dia, keduanya tampak begitu serasi.
Ketika Branden sedang memperhatikan keduanya, mendadak dia dikejutkan oleh sosok istrinya yang tiba-tiba saja sudah berdiri di belakang kedua muda-mudi itu. Dia tampak mengenakan gaun putih polos dengan rambut panjang yang tergerai, sedangkan wajahnya yang pucat tampak begitu marah. Saat itu Branden terlihat kebingungan, dia benar-benar tidak mengerti kenapa sosok istrinya tiba-tiba muncul dengan wajah semarah itu.
"Ada apa, Ayah?" tanya Rani yang melihat wajah ayahnya tampak begitu tegang.
Branden tidak menjawab, dia terus menatap sosok istrinya yang masih berdiri dengan tangan terkepal. Saat itu Rani langsung menoleh ke belakang, melihat apa yang sedang ditatap ayahnya. Namun, dia tidak melihat sesuatu pun yang mencurigakan.
Tiba-tiba Branden beranjak dari tempat duduknya, kemudian bergegas meninggalkan tempat itu. Jodi yang melihat Branden seperti itu tampak mengerutkan kening.     "Kenapa dengan ayahmu, Sayang?" tanya pemuda itu heran.
Saat itu Rani tidak menjawab, dia tampak memperhatikan ayahnya yang sedang melangkah ke ruang tengah. "Sebentar ya..!" katanya seraya bergegas menyusul sang Ayah.
Setibanya di ruang tengah. "Hmm... Ayah ke mana ya?" tanya gadis itu dalam hati sambil terus celingukan, mencari-cari sang Ayah.
Kini gadis itu sedang melangkah ke kamar ayahnya. "Yah! Ayah!" panggilnya seraya mengetuk pintu kamar yang tampak tertutup rapat.
Karena tak juga mendengar jawaban, akhirnya Rani membuka pintu kamar, dan ternyata sang Ayah juga tidak ada di ruangan itu. "Hmm... Ayah ke mana sih?" gumamnya seraya melangkah pergi.
"Yah! Ayah…! Ayah di mana...?" Rani kembali memanggil-manggil ayahnya, suaranya semakin keras terdengar.
Rani merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan ayahnya, kemudian dia segera mencarinya hampir ke semua ruangan. Ketika tiba di dapur, dia melihat pintu belakang tampak terbuka lebar. Melihat itu, Rani pun segera keluar dan berteriak-teriak memanggil ayahnya. Teriakannya terdengar keras bagai anak ayam yang kehilangan induknya.
Sementara itu, Jodi tampak sedang termenung di ruang tamu. "Hmm... apakah setan telah memberikan kesempatan untuk memulai segala rencanaku? Baiklah kalau begitu, sekarang juga aku akan memanfaatkan kesempatan ini," katanya dalam hati seraya menuangkan obat perangsang ke dalam minuman Rani. Setelah itu dia kembali menunggu.
Setelah lama menunggu, kesabarannya pun mulai habis. "Hmm… Kenapa Rani belum juga kembali? Kalau begitu, sebaiknya kususul saja," gumamnya seraya beranjak pergi.  
Bersamaan dengan itu, Rani baru saja kembali dari mencari ayahnya. Kini dia sedang berada di dapur sambil menangis sedih, saat itu dia benar-benar sudah kehilangan dan mengkhawatirkan ayahnya. Rani terus menangis dan menangis, air matanya tak kunjung berhenti membasahi pipi.
"Rani!" seru Jodi tiba-tiba seraya menghampiri kekasihnya. Kini dia tampak memegang kedua bahu Rani dan menatapnya dengan hangat. "Apa yang telah terjadi, Sayang...?" tanya pemuda itu kemudian.
Rani tidak menjawab, dia membalas tatapan Jodi sambil terus menangis, lalu dengan serta-merta dia memeluknya erat.
"Sebenarnya ada apa, Sayang...?" tanya Jodi lagi.
Rani masih tidak menjawab, dia terus saja menangis di pelukan kekasihnya. Sementara itu di pemakaman, Branden tampak sedang memohon-mohon di pusara makam istrinya. "Jangan kauganggu dia Yana… jangan! Aku mohon… janganlah kau mengganggu dia! Dia itu anak kita. Apakah kau tidak sayang padanya? Padahal, masih jelas terbayang di benakku akan masa-masa indah bersamamu, masa-masa indah dimana kau begitu menyayanginya, dan pada saat itu kulihat Rani begitu bahagia mendapat belaian lembut dari seorang ibu yang begitu mencintainya. Tapi kenapa? Kenapa sekarang kau mau mengganggu ketentramannya, kenapa kauhadir di dunia yang seharusnya bukan tempatmu, kenapa...? Aku mohon, janganlah kau mengganggu dia Yana. Jangan...!" pinta Branden berkali-kali sambil terus menangis di pusara makam istrinya.
Branden terus bersimpuh sambil memeluk makam istrinya. Sementara itu di ruang dapur, Rani masih saja menangis di pelukan Jodi, sedangkan Jodi tampak membelainya dengan penuh kasih sayang. "Sudahlah Sayang… tabahkan hatimu!" ucap pemuda itu seraya mengecup kening Rani.
Tiba-tiba     ’Braaaakk…!!!’     Mereka serentak kaget ketika mendengar daun pintu yang ditutup dengan kerasnya.
Saat itu Rani tampak ketakutan, bulu kuduknya seketika berdiri, dan jantungnya langsung berdebar kencang. Kini dia semakin merapatkan pelukannya ke tubuh sang kekasih tercinta. Jodi yang juga merasa takut berusaha untuk tetap tenang, dia tidak mau rasa takutnya itu diketahui oleh Rani. "Tenanglah, Sayang...! Tadi itu paling cuma angin yang bertiup kencang," katanya seraya kembali mengecup kening kekasihnya.
Pada saat yang sama, tiba-tiba pintu yang tertutup tadi kembali terbuka lebar, disusul dengan angin kencang yang berhembus memasuki ruangan. Suaranya terdengar menderu-deru dan membuat keduanya semakin ketakutan.
Sambil tetap mendekap Rani, pemuda yang bernama Jodi itu segera menutup pintu dan menguncinya rapat-rapat. "Nah... benar kan, tadi itu cuma angin. Kalau sudah terkunci seperti sekarang, pintu itu tidak mungkin bisa terbuka lagi," katanya seraya menatap Rani dengan hangat.
Rani tampak lega, lalu dia tersenyum seraya menyadarkan kepalanya di dada sang Kekasih. Mendadak benda-benda yang ada di ruangan itu tampak bergerak-gerak, kemudian disusul dengan pecahnya gelas dan piring yang berhamburan ke lantai. Pintu yang tadi telah terkunci mendadak terbuka lagi, bersamaan dengan hembusan angin yang kembali masuk dengan suaranya yang kian menderu-deru.
Saat itu Rani langsung menjerit histeris seraya menutup kedua telinganya, kemudian segera berlari meninggalkan ruangan itu. Jodi yang juga sangat ketakutan segera berlari mengikuti kekasihnya ke ruang tamu. Tak lama kemudian, keduanya sudah berada di ruang itu.
Rani yang masih sangat ketakutan segera memeluk Jodi dengan erat, dia memeluknya seakan tak mau melepaskannya lagi. Jodi sendiri masih terus diselimuti ketakutan, sungguh dia tidak menduga akan mengalami kejadian itu, namun lagi-lagi dia berusaha untuk tetap tenang.
Kini pemuda itu mencoba untuk menenangkan kekasinya, "Tenanglah, Sayang...! Mungkin tadi itu cuma gempa ringan. Selama di Jepang, aku juga sering mengalami gempa yang seperti barusan," jelasnya seraya mengusap-usap punggung Rani.
"Tapi, Jo... kenapa hal itu cuma terjadi di dapur. Kau lihat sendiri kan, di ruangan ini sama sekali tidak apa-apa."
Jodi tidak bisa menjelaskan hal itu, namun dia tetap berusaha untuk membuat Rani menjadi tenang. "Sudahlah Sayang...! Sekarang kau duduk dulu!" kata Jodi seraya membantu kekasihnya untuk duduk di sofa. "Nah, sekarang sebaiknya kauminum dulu!" katanya lagi seraya mengambil minuman milik Rani yang telah diberi obat perangsang.
Pada saat yang sama, tiba-tiba gelas yang berada di genggaman Jodi seperti ada yang menepis. Tak ayal, gelas itu langsung jatuh ke lantai dan hancur berkeping-keping.
Saat itu Rani langsung kaget dibuatnya, "Ada apa, Jo...?" tanyanya dengan suara yang terdengar parau.
"Entahlah… aku tidak mengerti," jawab Jodi seraya menatap ke lantai, melihat pecahan gelas yang tampak berserakan.
Mengetahui itu, Jodi segera mengambil sapu yang tersandar di balik pintu dan mencoba untuk membersihkannya.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi, Jo?" tanya Rani lagi seraya bangkit dari tempat duduknya.   
Jodi tidak segera menjawab, dia tampak menghampiri Rani dan menatapnya dengan penuh rasa cemas. "Sayang… sepertinya ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini," ucap pemuda itu datar.
"Apa maksudmu, Jo?" tanya Rani penasaran.
"Aku merasakan sesuatu yang aneh. Sepertinya semua ini ulah tukang sihir yang tidak menyukai keberadaan kita," jawab Jodi seraya melihat ke sekelilingnya.
"Ka-kau jangan membuatku semakin takut, Jo...!" Rani berharap.
Belum sempat Jodi berkata-kata, tiba-tiba “BRAKKK!!!” pintu depan tampak terbuka lebar dengan disertai angin yang terus berhembus kencang.
Seketika Jodi dan Rani menatap ke arah pintu, saat itu mata mereka tampak memicing menahan hembusan angin yang begitu kencang, rambut mereka pun tampak terumbai-umbai diterpa angin yang semakin membesar.
Kini keduanya semakin merapatkan pelukan. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba semua lampu di rumah itu mendadak padam. Saat itu Rani langsung menjerit histeris, dia tampak ketakutan di dalam gelap yang mencekam. Sementara itu, Jodi berusaha mengendalikan rasa takutnya, "Ayo kita segera keluar, Sayang...!" ajaknya seraya menggandeng lengan Rani.
Kini keduanya melangkah menuju teras sambil terus bergandengan tangan, mereka terus melangkah melawan arus angin yang semakin kencang. Dan setibanya di teras depan, "Kau tunggu di sini, Sayang...!" pinta Jodi seraya menyuruh Rani untuk berpegangan pada pilar penyangga.
Rani menurut, dia segera berpegangan pada pilar penyangga dan berusaha keras agar tidak terbawa arus angin. Pada saat yang sama, Jodi mulai melangkah melawan arus angin yang terus menerpanya, dia berniat masuk ke mobil untuk mengambil alat penerangan yang tersimpan di laci.
Jodi terus berusaha mendekati mobilnya dengan berjuang keras melawan arus angin yang semakin keras menerpa. Saat itu, tangan kanannya tampak menyiku—melindungi kedua matanya. Kini pemuda itu sudah berhasil menempuh separo jalan, dan dia masih terus melangkah melawan arus angin yang seakan mendorongnya agar tidak mendekati mobil.
Sementara itu, Rani hanya bisa mengawasinya sambil terus berpegangan pada pilar penyangga. Tiba-tiba saja gadis itu terpekik, dilihatnya sang kekasih mendadak jatuh dan terseret di atas tanah. Melihat itu, seketika Rani menggigit bibirnya, kedua alisnya tampak merapat cemas. Kini gadis itu melihat kekasihnya sedang berusaha bangkit, sayup-sayup terdengar rintihan kesakitan, akibat cidera yang diderita pemuda itu.
Suasana semakin menakutkan dan kian mencekam. Dengan perasaan takut dan kecemasan yang semakin menjadi-jadi, Rani terus memperhatikan kekasihnya. Sementara itu, Jodi sudah melangkah kembali dengan mengerahkan segala kemampuannya. Jodi terus berusaha dan berusaha mendekati mobilnya yang kini sudah tidak begitu jauh lagi. Saat itu, dilihatnya mobil itu tampak bergoyang-goyang tertiup angin.    
Setelah berusaha keras, akhirnya Jodi berhasil menggapai pintu mobil dan segera masuk. Keadaan di dalam agak gelap, dan entah kenapa lampu kabinnya tidak bisa dinyalakan. Kini Jodi sedang berusaha mencari alat penerangan yang tersimpan di laci, dengan tangan kirinya pemuda itu tampak meraba isi laci satu per satu. Setelah menemukan apa yang dicarinya, pemuda itu segera kembali ke tempat Rani berada. Saat itu, Jodi tampak kelelahan dan berjalan dengan terhuyung-huyung. Namun belum sampai dia mendekati Rani, tiba-tiba saja sebuah bayangan putih melesat cepat dan menabraknya dengan keras sekali. Tak ayal, tubuh pemuda itu langsung terhempas ke tanah dan menimpa sebuah benda keras. Suara teriakannya terdengar keras bersamaan dengan jeritan Rani yang ketakutan menyaksikan kejadian itu.
Rani terus memperhatikan Jodi dan merasa khawatir dengan keadaannya. Kini dilihatnya pemuda itu tampak berusaha bangkit kembali, dan sesekali terdengar rintihan kesakitan dari bibirnya yang tipis. Rupanya pemuda itu mengalami cidera di punggung lantaran tulang belakangnya sempat terbentur sebuah batu ketika terjatuh tadi. Tak lama kemudian, dia sudah melangkah kembali. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba angin kencang berhenti dengan sendirinya, kemudian disusul dengan menyalanya lampu-lampu di semua ruangan. Kini Jodi sudah berdiri di hadapan Rani sambil tertunduk lemas.
"Kau tidak apa-apa, Jo…?" tanya Rani khawatir.
Jodi tidak menjawab, dia cuma memandang Rani dengan wajah yang begitu tegang. Saat itu Rani melihat bibir pemuda itu tampak mengeluarkan darah. Lalu, dengan serta-merta gadis itu mencoba membersihkannya. Ketika Rani hendak menyentuh luka itu, tiba-tiba Jodi menepisnya dengan keras sekali seraya mundur selangkah.
Seketika Rani tersentak, dia benar-benar terkejut akan perlakuan itu. "Ada apa denganmu, Jo? Kenapa kau seperti itu?"  tanya gadis itu lirih. 
Jodi tidak menjawab, dia tampak mengangkat kepalanya dengan sangat perlahan, kemudian menatap Rani dengan penuh curiga. "Di mana ayahmu???" tanya pemuda itu dengan nada membentak.
Lagi-lagi Rani tersentak, sungguh dia tidak menyangka kalau Jodi telah bicara kasar padanya. "Kenapa, Jo? Kenapa kau marah kepadaku?" tanya gadis itu seraya menatap mata Jodi dengan penuh tanda tanya.
Jodi tidak menjawab, dia malah menatap Rani dengan sorot mata yang penuh kebencian. Melihat itu, Rani pun langsung menangis sedih, kemudian dengan segera gadis itu berbalik dan langsung berlari ke kamarnya. Kini gadis itu sedang bersandar di daun pintu dengan tubuh gemetar dan hati yang tersayat-sayat. Rani terus menangis dan menangis. Sungguh dia tidak menduga kalau kekasihnya akan bersikap sekasar itu.
Di teras depan, Jodi masih berdiri sambil menatap ke dalam rumah, kemudian dia melangkah memasuki ruang tamu. Kini dia tampak berdiri di tengah-tengah ruangan itu dengan penuh amarah, kedua bola matanya tampak liar memandang ke segala arah. Pada saat yang sama, Branden baru saja pulang, dia tampak memperhatikan Jodi yang berdiri terpaku sambil menatap ke luar rumah. "Jodi!" panggil Branden seraya menghampiri pemuda itu.
Jodi segera memalingkan pandangannya ke arah Branden, kemudian menatapnya dengan sorot mata yang berapi-api. Branden yang melihat Jodi seperti itu tampak keheranan. "Aneh… Kenapa dengan anak ini? Kenapa tiba-tiba dia menjadi seperti itu? Jangan-jangan..." Branden tampak berpikir keras.
Jodi masih menatap Branden, kedua matanya tak bergeming dari pandangan Branden yang kini juga mulai berapi-api. Sementara itu, Rani yang mendengar suara ayahnya segera keluar kamar. Kini dia tampak melangkah ke ruang tamu dengan perlahan. Betapa terkejutnya dia ketika melihat ayah dan kekasihnya tampak saling bertatapan, kemudian dengan cemas gadis itu segera bersembunyi di balik dinding.
Sambil bersandar, gadis itu tampak menengadah—menarik nafas panjang, kemudian  menghembuskannya dengan cepat sekali. "Huff! Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Kenapa dengan mereka?" Rani membatin. Kemudian Rani kembali memperhatikan mereka, dilihatnya keadaan masih seperti semula—mereka masih terpaku dan saling berpandangan.
Tiba-tiba Branden berteriak dengan kerasnya, "Keluaaar!" usir Branden kepada mendiang istrinya yang diduga bersemayam di tubuh Jodi. Kerasnya suara teriakan itu membuat Rani terkejut bukan kepalang, ketakutannya pun semakin menjadi-jadi.
"Keluaaarrr…keluaaarrr…!" teriak Branden berulang-ulang.
Jodi yang menerima perlakuan itu merasa semakin marah, dadanya pun terasa panas membara. Ingin rasanya dia menghajar lelaki yang masih saja melotot kepadanya itu, kemudian membuatnya bertekuk lutut untuk memohon ampun atas penghinaan yang dilakukannya. Tapi Jodi memang seorang pengecut, dia tidak berani menghadapi lelaki yang dikenalnya pernah berurusan dengan dunia gaib. Saat itu dia justru merasa lelaki itu akan membuatnya binasa, atau menyihirnya menjadi seekor anak ayam yang kemudian diberikan kepada musang yang sedang kelaparan. Karena itulah, akhirnya Jodi berlari ke mobil dan bergegas meninggalkan tempat itu.
"Ayah!" panggil Rani seraya menghampiri ayahnya.
"Rani!" ucap Branden seraya memandang putrinya.
"Jo-Jodi kenapa, Ayah? Kenapa Ayah mengusirnya?" tanya Rani kepada ayahnya.
"Tidak… Ayah tidak bermaksud mengusir. Ayah cuma…" Branden tidak melanjutkan kata-katanya, dia tampak berpikir dengan keras. "Apakah aku harus mengatakan hal yang sebenarnya? Tidak, Rani tidak boleh mengetahui kalau ibunyalah yang telah menyebabkan semua ini," katanya dalam hati. Karena takut sesuatu yang buruk akan menimpa putrinya, akhirnya Branden  tetap merahasiakan.
"Kenapa, Ayah? Kenapa?" Rani kembali bertanya.
Branden tampak menatap Rani seraya memegang kedua bahunya. "Maaf, Sayang...! Ayah tidak bisa menjelaskannya padamu," jawab Branden menutup keingintahuan putrinya.
Sejenak Branden melihat keluar, kemudian meminta putrinya agar masuk ke kamar dan beristirahat. Branden sendiri segera melangkah ke teras muka dan duduk merenung di tempat itu. Pada saat yang sama, Rani sudah berada di kamarnya, kini dia sedang menangis di atas tempat tidur. Sungguh dia benar-benar tidak mengerti kenapa ayahnya tega mengusir Jodi, dan dia pun mulai berprasangka yang tidak-tidak mengenai hal itu.
"Hmm... apakah semua kejadian tadi perbuatan Ayah yang ingin memisahkan aku dengan Jodi? Tapi kenapa? Padahal, semula beliau sangat gembira bertemu dengannya. Aku benar-benar tidak mengerti, apa sebenarnya yang beliau inginkan?"
Rani terus bertanya-tanya, sedangkan air matanya tak henti-hentinya mengalir membasahi pipinya yang pucat. Sementara itu di sebuah jalan yang gelap dan sepi, sebuah sedan mewah tampak melaju dengan kecepatan tinggi. Di kiri-kanannya tampak berjajar pepohonan rindang yang membuat jalan itu kian bertambah seram. Jodi, si pengemudi mobil mewah itu tampak kalut, pikirannya masih terbayang peristiwa di rumah Rani.
"Hmm... mungkinkah Branden tahu kalau aku akan berbuat jahat? Kalau begitu, benar juga kata si Burhan kalau Branden itu memang mempunyai ilmu sihir. Tidak mustahil kalau dia bisa membaca pikiranku. Padahal, pada mulanya aku tidak percaya sama sekali kalau Branden itu orang yang demikian. Selama ini dia tampak begitu baik, dan tidak ada sedikitpun yang membuatnya tampak sebagai penyihir. Namun, sekarang aku yakin sekali, kalau dia memang mempunyai ilmu sihir. Sebab, aku sendiri sudah merasakannya. Kurang ajar Branden! Beraninya dia menjauhkanku dari Rani!!!" makinya setengah berteriak.
"Bukan dia, Jo…." tiba-tiba terdengar suara parau dari jok belakang.
Seketika Jodi melirik ke kaca spion tengah. Betapa terkejutnya dia ketika melihat seorang wanita cantik dengan wajah yang begitu pucat tampak sedang duduk menyeringai. Jodi pun merinding seraya menginjak pedal rem dalam-dalam, akibatnya mobil yang dikemudikannya hampir saja tergelincir hingga keluar jalan raya. Kini pemuda itu sudah bersiap-siap untuk melarikan diri. Namun ketika dia menoleh ke belakang, ternyata wanita tadi sudah menghilang.
Jodi tampak menarik nafas panjang, "Huff! syukurlah... mungkin tadi itu cuma hayalanku saja," gumamnya merasa lega. Begitu pandangannya kembali ke depan, pemuda itu tampak terkejut bukan kepalang. Dilihatnya sosok wanita tadi tampak berdiri di depan mobilnya dengan gaun putih yang berkibar-kibar. Sosok wanita itu menatap Jodi. Wajahnya yang pucat tampak begitu menyeramkan. Sebagian wajahnya yang pucat itu tertutup oleh darah yang mengering, dan sebelah bola matanya tampak mencuat ke luar.
Melihat itu Jodi tampak ketakutan, kemudian dengan segera pemuda itu mencoba menghidupkan mesin mobilnya. Namun sungguh disayangkan, mesin mobilnya tak kunjung hidup. Berkali-kali dia mencoba, namun tetap gagal. Sementara itu, sosok wanita menyeramkan tadi tampak mulai menghampiri. Melihat itu, Jodi semakin panik, lalu dengan segera dia keluar mobil dan berlari tunggang-langgang.
Jodi terus berlari dan berlari, hingga akhirnya dia melihat sebuah rumah yang cukup megah. Sungguh betapa senangnya dia saat itu. Lantas, dengan nafas yang masih terengah-engah, pemuda itu segera berlari menghampiri.
Kini pemuda itu sedang membuka pintu gerbang yang ternyata tidak dikunci, kemudian dengan segera dia berlari memasuki pekarangan. Saat itu hatinya betul-betul lega, karena tak lama lagi dia sudah bisa meminta bantuan. Namun sungguh disayangkan, ketika sudah hampir tiba di teras, tiba-tiba kaki pemuda itu tersandung sesuatu. Tak ayal, pemuda itu langsung tersungkur mencium tanah. “Aggh…!” Jodi tampak meringis kesakitan, sebagian tubuhnya dirasakan nyeri dan ngilu.
Kini pemuda itu mencoba menengadah ke arah rumah yang dilihatnya tadi. "A-apa!!!" serunya dengan matanya terbelalak dan mulut yang menganga lebar. Ternyata rumah yang dilihatnya tadi, kini sudah menghilang, dan yang ada di hadapannya sekarang adalah sebuah makam dengan nisan yang persis di depan matanya. "Di-di-di mana rumah tadi? Bu-bu-bukankah tadi berada di depanku," ucap pemuda itu  terbata seraya membaca tulisan yang ada di nisan tersebut. "Ya-Yana…!" serunya terkejut.
Jodi mengucek-ngucek kedua matanya, kemudian kembali memperhatikan nisan itu sekali lagi. "Tidak salah lagi. Ini memang nisan Yana," ucapnya seakan tidak percaya.
 Seketika Jodi merinding, sungguh dia tidak menduga kalau dirinya ternyata sedang tertelungkup di depan makam Yana. Kini pemuda itu tampak memperhatikan keadaan di sekelilingnya, dan betapa terkejutnya dia ketika menyadari sedang berada di tengah-tengah pemakaman umum yang begitu sepi dan menyeramkan. Tak ayal, saat itu wajahnya langsung pucat dengan tubuh yang gemetar hebat.
Lantas dengan terus diselimuti rasa takut, pemuda itu berusaha bangkit. Dan tak lama kemudian dia sudah berdiri tegak dan siap melangkah pergi. Namun baru saja dia membalikkan badan, tiba-tiba dihadapannya sudah berdiri sesosok tubuh wanita yang sedang menyeringai seram. Saat itu, wajah wanita itu tampak begitu pucat dan menyeramkan, bahkan dari tubuhnya tercium bau busuk yang begitu menyengat. Kini sosok wanita itu tampak  menatap Jodi dengan penuh kebencian. Melihat itu, Jodi langsung terpekik dengan tubuh yang terasa lemas. Hingga akhirnya, dia pun jatuh duduk tak berdaya sama sekali.
"Jangan kau permainkan dia Jooo...!!!" seru sosok wanita itu dengan suara serak.
"A-a-apa, ma-ma-maksudmu? Bu-bu-bukankah selama ini a-aku begitu menyayangi putrimu," ucap Jodi dengan terbata-bata.
"Jangan bohong, Jo!!! Aku tahu kau telah mempunyai istri di Tokyo," kata sosok wanita itu dengan nada marah.
"Ja-ja-jadi kau tahu... ba-ba-bahwa aku su-su-sudah mempunyai istri?"
"Kau benar, Jo! Masih ingatkah ketika kaubicara lewat HP di ruang tunggu terminal? Waktu itu aku sempat mendengarkan pembicaraanmu," cerita Yana mengingatkan kembali akan peristiwa yang telah lewat. "Waktu itu ketika hendak menemuimu, aku sempat mendengar kau yang menyebut kata ‘istri’. Dan karena penasaran, aku pun mendengarkan percakapan itu lebih lanjut. Hingga akhirnya aku bisa mengetahui siapa dirimu sebenarnya. Ternyata kau telah mempunyai istri di Tokyo," lanjut Yana menjelaskan.
Seketika Jodi teringat dengan kata-katanya waktu itu, yaitu ketika dia sedang berbicara dengan istrinya. "Kau ini bagaimana, sih? Aku kan sudah bilang akan pulang secepatnya. Kaupikir di Jakarta ini aku sedang main-main, di sini aku sedang mengurusi perusahaan ayahku, dan aku baru bisa kembali ke Tokyo besok pagi. Dengar, Sayang...! Jika kau ingin tetap menjadi istriku, kau harus bisa memahami hal itu." Dan kalimat itulah yang terus terngiang di telinga Yana hingga akhir hayatnya.
"Bagaimana, Jo?" tanya Yana lagi.
"Ba-ba-baiklah! A-a-aku akan me-me-menjauhi putrimu," janji Jodi dengan suara yang masih saja terbata-bata.
"Pegang ucapanmu itu, Jo!" ucap Yana seraya melesat pergi.
Jodi tidak berkata apa-apa, dia cuma mengangguk penuh ketakutan, bahkan dari celananya tampak mengalir air seni yang cukup banyak. Kini pemuda itu berusaha bangkit, kemudian dengan kaki yang terpincang-pincang pemuda itu bergegas ke mobilnya.
Saat itu Jodi benar-benar tidak habis pikir, kenapa dia bisa mengarahkan mobilnya ke daerah dekat pemakaman? Padahal pada mulanya, dia yakin sekali kalau telah mengemudikan mobil pada jalan yang benar. Sungguh saat itu Jodi telah dibuat bingung oleh kejadian yang baru dialaminya.
Setelah mesin dihidupkan, Jodi segera memacu mobilnya meninggalkan tempat tersebut. Sementara itu di tempat lain, Branden masih saja termenung di teras depan rumahnya. Wajahnya yang kusut terlihat begitu murung, sedangkan kedua matanya tampak berkaca-kaca. "Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa Yana tega merusak kebahagiaan Rani? Apa yang sebenarnya dia inginkan?" tanya Branden dalam hati.
Namun belum sempat lelaki itu berpikir lebih jauh, tiba-tiba angin yang sangat kencang berhembus di tempat itu. Suaranya terdengar menderu-deru. Bersamaan dengan itu, daun-daun dan debu tampak berterbangan. Lalu dari samping rumah terdengar gemeretak dahan pohon yang patah, kemudian disusul dengan derak suara pohon yang tumbang.
Saat itu Branden tampak heran dibuatnya. Belum hilang rasa herannya, tiba-tiba dia melihat seorang wanita yang sedang berdiri di muka rumah. Kini wanita itu sedang berjalan menghapirinya. Pada saat yang sama, Branden tampak berdiri dan maju selangkah, kedua matanya tampak memperhatikan wanita itu dengan seksama. Betapa terkejutnya dia ketika mengetahui bahwa wanita itu adalah sosok istrinya yang sudah meninggal hampir sebulan yang lalu.
Wanita itu terus melangkah mendekati Branden, sedangkan Branden tampak sedikit gugup melihat sosok istrinya sudah kian mendekat. Namun begitu, dia mencoba untuk tetap tenang. Kini sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan Branden, sedangkan Branden sudah siap untuk meluapkan amarahnya yang sudah sejak tadi terpendam. Lantas, dengan tajam dia menatap mata wanita itu seraya berkata lantang, "Yana!!!" serunya kepada sosok mendiang istrinya itu. "Kenapa kau mengganggu Jodi, Yan? Kenapa??? Apakah kau tidak senang melihat putri kita bahagia bersamanya? Jawablah, Yana...! Jawab!!!" 
"Kau tidak mengerti Braannn…" kata sosok istrinya dengan suara yang terdengar parau.
Belum tuntas sosok wanita itu menjawab, tiba-tiba "Ayah… Ayah….!" terdengar teriakan Rani memanggil.
Seketika Branden menoleh ke arah pintu, dilihatnya Rani tengah berlari menghampirinya. "Ayah! Apakah Ayah mendengar suara-suara tadi?" tanyanya penuh ketakutan.
Branden tidak menjawab, dia malah menoleh ke tempat sosok Yana berdiri. Saat itu sosok Yana itu sudah menghilang. Kini Branden menghampiri Rani yang terlihat sangat ketakutan, kemudian memeluknya erat. "Iya Sayang... Ayah juga mendengarnya. Tapi kau tidak perlu takut, tadi itu cuma suara pohon tumbang yang tertiup angin besar barusan," jelas Branden seraya membelai rambut putrinya.
"Angin besar?" tanya Rani seraya melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
"Iya, Sayang... barusan memang ada angin yang begitu besar," jelas Branden lagi.
"Itu juga yang terjadi ketika Rani dan Jodi sedang berada di ruang tamu, Yah. Jadi, bukan Ayah yang melakukannya?" tanya Rani seraya menatap mata ayahnya.
Branden memegang bahu putrinya, kemudian menatapnya dengan prihatin, "Bukan, Sayang... bukan Ayah yang melakukannya. Itu semua ulah…" Branden  tidak melanjutkan kata-katanya.
"Ulah siapa, Ayah?" tanya Rani penasaran.
"Sebaiknya kita masuk saja, Sayang...! Udara di sini cukup dingin." Ajak Branden yang tidak mau menjawab pertanyaan putrinya.
Akhirnya keduanya segera melangkah masuk dan beristirahat di kamar masing-masing. Kini Rani tampak sedang berbaring di tempat tidurnya, dia masih saja memikirkan kejadian barusan. "Jangan-jangan, Ayah sengaja menciptakan peristiwa barusan cuma untuk menutupi perbuatannya.  Seakan-akan, peristiwa yang waktu itu aku dan Jodi alami bukanlah perbuatannya?" Rani menduga-duga.
Kini Rani teringat ketika ayahnya pernah mempelajari ilmu sihir guna mencari kekayaan. Waktu itu usia Rani masih 12 tahun. Setelah ayahnya bertobat dan meninggalkan semua kekayaan yang didapat dari cara yang tidak halal, mereka pun pindah ke sebuah rumah yang sederhana. Sejak saat itulah Branden bercocok tanam sampai akhirnya dia mendapatkan pekerjaan di sebuah perusahaan. Hingga akhirnya dia bisa kembali hidup mapan seperti sekarang.
"Hmm... apakah Ayah memang masih memiliki ilmu itu? Jika benar demikian, kenapa beliau menggunakannya untuk memisahkan hubungan kami?"  Rani terus bertanya-tanya, hingga akhirnya dia terlelap karena kantuk yang tak tertahankan.