E-Book dan Game Gratis

E-book                      Game & Software
Bagi anda yang ingin membaca secara offline, silakan download format e-book-nya di sini!

Karunia Mutiara Cinta - Bagian 2

Dua



Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan. Semenjak kepergian Lisa, akhirnya Randy pindah ke rumah Bibinya yang mempunyai perusahaan boutique. Pemuda itu sengaja tinggal di tempat itu demi mengalihkan ingatannya soal Lisa, yaitu dengan cara mencari kesibukan—belajar menjadi seorang penjahit yang profesional. Selain itu, dia pun ingin menemani sang Bibi yang kini telah tinggal sendirian lantaran anak semata wayangnya baru saja menikah dan telah diboyong suaminya ke luar kota.
Selama tinggal di rumah Bibinya, Randy sangat kerasan dan selalu mengisi hari-harinya dengan belajar dan belajar, hingga akhirnya pemuda itu bisa menjadi seorang penjahit yang cukup professional. Sampai pada suatu hari, di siang yang cukup panas, di sebuah bengkel yang tidak terurus tampak beberapa bis angkutan umum yang di parkir dalam keadaan rusak. Di salah satu atap bis itulah Randy tampak duduk termenung sambil memandang kosong ke arah sebuah rumah yang tak jauh dari tempatnya duduk. Sudah tiga hari ini Randy selalu duduk termenung di tempat itu, pikirannya selalu dibayangi perasaan menyesal yang teramat sangat. Sungguh pemuda itu tidak menyangka kalau dia telah kehilangan kekasih yang dicintainya untuk yang kedua kali.
Setahun setelah kepindahan Randy ke rumah Bibinya, Randy menjalin cinta dengan seorang gadis manis bernama Yuli. Pada mulanya, dia sama sekali tak menyadari akan keberadaan gadis itu. Namun setelah kejadian itu, ketika Randy menolong Yuli yang hampir tertabrak motor, cintanya pun mulai bersemi. Waktu itu ketika Randy berusaha menyelamatkan Yuli, mereka terjatuh bersama ke tepi jalan dan bergulingan. Pada saat itu Yuli nyaris saja tercebur ke dalam kali yang cukup dalam, untung saja Randy cepat meraih tangannya dan menyelamatkannya untuk yang kedua kali. Saat itulah mereka saling berpandangan dengan penuh arti, dan saat itu pulalah benih-benih cinta mulai bersemi di antara keduanya, hingga akhirnya mereka menjadi sepasang kekasih yang saling mencintai. Sementara itu, Erna sahabat Yuli yang ternyata diam-diam lebih dulu mencintai Randy tampak tidak senang dengan hubungan mereka, hingga akhirnya dia datang menemui Randy.
"Ran ! Apa kau benar-benar mencintai Yuli?" tanya Erna dengan wajah serius.
"Iya, aku memang sangat mencintainya. Memangnya kenapa?" Randy  balik bertanya.
"Memangnya kau tidak tahu, kalau Yuli sudah tidak gadis lagi? Aku sendiri pernah memergokinya dengan seorang lelaki."
"Kau jangan sembarangan bicara, Er!" Randy terlihat marah.
"Benar kok, Ran! Sumpah deh, aku tidak bohong. Yuli memang sudah tidak gadis lagi, dia sudah tidur dengan Ari di sebuah rumah kosong. Itu loh! Rumah yang baru di bangun di depan itu," cerita Erna sungguh-sungguh.
Mendengar cerita itu Randy tampak semakin marah. "Kau jangan memfitnahnya, Er! Aku tahu benar siapa Yuli—dia itu gadis baik-baik," kata Randy ketus.
Tiba-tiba saja sebuah tamparan keras melayang ke wajah Erna. Karena kerasnya tamparan itu, kontan membuat bibir Erna seketika berdarah. Erna pun langsung menangis, merasakan sakit di bibirnya dan juga kekecewaan yang teramat sangat. Sungguh dia tidak menyangka kalau pemuda yang selama ini begitu dicintainya ternyata tega menamparnya dengan begitu keras.
Yuli yang kebetulan melihat kejadian itu segera datang menghampiri. "Kak Randy! Kau ini apa-apaan sih?  Sungguh keterlaluan sekali, tega-teganya kau menampar Erna sampai seperti ini," kata gadis itu seraya buru-buru mengambil sapu tangannya dan membersihkan darah di bibir sahabatnya "Er! Memangnya ada apa? Kenapa dia begitu tega menamparmu sampai seperti ini?" tanyanya kepada Erna dengan penuh prihatin.
"Begini, Yul! Randy itu memang sudah gila. Dia itu kan pacarmu, masak dia merayuku  untuk berbuat yang tidak-tidak. Tentu saja aku menolak, sebab aku tidak mau berbuat begitu, apalagi sampai menghianati sahabatku sendiri. Lalu tanpa diduga-duga, pacarmu itu langsung mengeluarkan kata-kata yang sangat menyakitkan perasaanku. Katanya, ‘Er! Kau itu kan pekcun, jangan sok menolak deh.’ Saat mendengar itu, seketika aku tersinggung, lalu tanpa sadar aku langsung meludahi wajahnya. Namun pacarmu itu bukannya sadar, eh dia malah menamparku hingga sampai seperti ini," cerita Erna dengan sangat meyakinkan.
"Bohong! Itu bohong, Yul. ...Itu fitnah. Aku menampar dia karena dia telah memfitnahmu. Dia telah berkata yang tidak-tidak mengenai dirimu. Percayalah, Yul! Dia memang telah memfitnahmu," bela Randy saat itu.
"Apa benar yang dikatakannya, Er? " tanya Yuli dengan kening sedikit berkerut.
Saat itu Erna langsung menundukkan kepalanya, "Percuma saja, Yul. Bila aku bilang ‘tidak’, kau pasti juga tidak akan percaya. Dia itu kan pacarmu, orang yang kau cintai, tentunya kau akan lebih membela dia," katanya lirih.
Mendengar itu, Yuli langsung simpati. "Kau jangan begitu, Er. Aku percaya kok. Kau itu kan sahabatku, dan kita sudah lama berteman. Aku tahu benar sifatmu, rasanya memang tidak mungkin kau berbuat seperti yang dituduhkan Randy."
Mengetahui itu, Randy kembali membela diri, "Yul? Please...! Percayalah padaku!" katanya berharap.
Setelah membersihkan darah di bibir Erna, Yuli segera berpaling ke arah Randy. Dia menatapnya dengan penuh kebencian, "Kak Randy! Aku benar-benar tidak menyangka, kalau kau yang kukenal baik ternyata di belakangku... telah merayu sahabatku sendiri. Kau telah bertindak melewati batas, Kak. Sebagai seorang wanita, aku benar-benar sangat kecewa. Mulai sekarang, lebih baik kita putus!"
Setelah berkata begitu, Yuli pun segera mengajak Erna untuk meninggalkan tempat itu.
"Yul? Yuli... dengar aku, Yul!" teriak Randy berharap.
Saat itu Yuli sudah tidak mempedulikan Randy, dia dan Erna terus melangkah menjauh. Sementara itu, Randy sudah tak mampu berkata-kata lagi, dia hanya bisa terpaku melihat kepergian kekasihnya. Dalam hati dia begitu menyesal, kenapa sewaktu Erna memfitnah kekasihnya dia tidak bisa menahan diri. Seandainya saat itu dia bisa menahan diri, tentu tidak akan seperti itu kejadiannya. Tiba-tiba Randy tersadar dari kenangan pahitnya, saat itu hari tampak sudah mulai gelap dan hujan pun sebentar lagi akan turun. Lalu dengan perasaan yang masih galau, pemuda itu segera turun dari atap bis dan melangkah pulang.
Sementara itu di tempat lain, di sebuah kamar yang sederhana terpajang hiasan dinding yang tertata indah. Semua perabotannya pun tampak tertata dengan rapi, diletakkan di atas lantai putih yang begitu bersih. Semua itu menunjukkan sang empunya kamar merupakan orang yang suka dengan keindahan, kerapian, dan kebersihan. Pada sebuah meja kecil di ruangan itu terpampang beberapa buah foto, di antaranya terdapat foto sepasang pengantin. Itulah foto kedua orang tua Yuli yang sudah lama meninggal dunia. Di sebelah kiri foto itu terpampang foto Yuli yang sedang memegang seikat bunga dan di sebelah kanannya terpampang foto Randy. Entah kenapa foto itu masih saja terpampang di meja itu, padahal sudah satu bulan dia menyatakan putus dengannya. Tak jauh dari meja kecil itu, tampak sebuah dipan bersprei merah jambu, dan di atas dipan itulah Yuli tampak sedang termenung sambil memandangi foto Randy yang ada di atas meja. Saat itu ingatannya kembali melayang ke masa lalu, mengenang kembali masa indah bersama pemuda yang ternyata masih dicintainya. Sungguh gadis itu sulit untuk bisa menerima kenyataan pahit yang dialaminya, batinnya pun seakan meronta—tak mau mempercayainya begitu saja. "Ya, rasanya tidak mungkin Randy akan bisa berbuat sehina itu? Hmm… Apa mungkin Erna telah berkata bohong? Bila benar demikian, sungguh aku sangat berdosa karena telah menyakiti hati Randy. Tapi... saat itu sepertinya Erna memang berkata jujur. Lagi pula, dia itu kan sahabatku, dan aku kenal betul siapa dia, rasanya tidak mungkin dia mau menghianatiku."
Saat itu Yuli terus bertanya-tanya sambil memikirkan peristiwa yang sudah membuatnya begitu bingung.

 
 
Esok paginya, di negeri di negeri kincir angin, mentari tampak bersinar cerah. Sinarnya yang hangat tampak membias ke seluruh taman yang ada di belakang sebuah rumah bergaya eropa, dan di taman itulah seorang gadis tampak duduk termenung sambil memandang kolam kecil yang ditumbuhi pohon teratai dengan bunganya yang berwarna biru. Gadis itu terus merenung, merasakan hembusan angin sepoi-sepoi yang terus bertiup, juga keteduhan rindangnya pohon oak yang sudah berumur ratusan tahun.
"Kak Randy... apakah kau sudah melupakanku, dan apakah kau sudah mempunyai penggantiku? Kak... ingin rasanya aku kembali ke tanah air tercinta untuk menemuimu, namun aku tak berdaya, tak tahu harus bagaimana. Kak... Sesungguhnya aku sangat mencintaimu, dan cintaku itu hanya untukmu. Andai kau tahu, sesungguhnya di sini aku begitu kesepian, bahkan tidak ada sesuatu pun yang bisa menghibur hatiku yang lara ini. Kini harapanku hanya dirimu, yang kupercaya bisa mengobati rasa rinduku, menjadi pelepas dahaga cinta yang sudah terlanjur melekat di relung hatiku terdalam," ungkap Lisa seraya memetik setangkai tulip yang tumbuh di dekatnya, kemudian memandangi keindahannya.
Saat itu air matanya tampak mengalir di pipinya yang mulus, kemudian menetes di sela-sela jemarinya yang tergenggam. Bersamaan dengan itu, kenangan indah bersama Randy kembali terbayang, membawanya ke masa lalu yang begitu berkesan. Saat itu Randy mencium bibirnya yang tipis di bawah terang sinar bulan purnama, dan pada saat itu pula Randy memberikannya sebuah kalung yang begitu indah. Sejenak Lisa menarik nafas panjang, sesegukan, kemudian mendongak—memperhatikan mentari yang kian meninggi. Sesaat, silaunya mentari sempat memicingkan kedua matanya yang basah. Kini pandangannya sudah beralih, memperhatikan liuk-liuk air kolam yang berkilat tersapu cahaya, lalu dengan serta-merta dia bangkit dan melangkah menuju ke sebuah gazebo yang dirambati oleh mawar berwarna putih. Kini gadis itu sudah duduk di tempat yang nyaman itu dan kembali termenung. Jemarinya yang lentik segera memetik setangkai mawar dan kemudian menciumnya perlahan. Bersamaan dengan itu, kenangan indah pun kembali terbayang. Namun belum sempat gadis itu kembali tebuai lamunan, tiba-tiba telinganya menangkap suara sapaan seorang pemuda. Saat itu Lisa tersentak, lamunannya pun buyar seketika. Kini gadis itu sedang memperhatikan sesosok tubuh tegap yang berdiri dihadapannya, kemudian memandang wajah tampan yang dilihatnya sedang menyungging sebuah senyuman manis. Melihat itu, Lisa pun buru-buru menghapus air matanya dan berusaha untuk tersenyum. “Si-siapa kau sebenarnya? Ma-malaikat kah?” tanya Lisa seakan tak percaya akan ketampanan pemuda itu.
"Maaf, aku bukan malaikat. O ya, kenalkan. Namaku Pieter, aku baru saja pindah ke daerah ini," kata pemuda itu dalam Bahasa Belanda seraya mengajaknya berjabatan tangan.
"Aku Lisa," kata Lisa memperkenalkan diri, juga dalam Bahasa Belanda.
"Senang berkenalan denganmu," kata Pieter seraya kembali tersenyum.
"Aku juga," balas Lisa.
“O ya, maafkan kalau tadi aku sudah menggangu kesendirianmu.”
“Ti-tidak apa-apa, Piet. Jujur saja, aku justru senang akan kehadiranmu. Ketahuilah, kalau di negeri ini aku tidak mempunyai seorang teman pun.”
Mengetahui itu, Pieter merasa betul-betul lega, kemudian dia segera mengajak Lisa kembali berbincang-bincang. Harum mawar dan keteduhan Gazebo membuat keduanya betah berlama-lama. Wajah Lisa yang semula murung kini tampak ceria, itu semua karena dia mendapat teman baru—seorang pria kulit putih yang baru saja pindah dan menjadi tetangganya. Pada saat yang sama, di negeri Zambrut katulistiwa dan di atap sebuah bis yang tak terawat, Randy kembali melamun seorang diri. Seperti biasanya, dia selalu memikirkan Yuli—gadis yang selalu saja terbayang di benaknya.
Semenjak putus dengan Yuli, Randy memang sering melamun, sepertinya dia tidak mempunyai gairah untuk hidup. Maklumlah, hari-hari yang biasanya dipenuhi keceriaan saat bersama Yuli kini tak lagi dirasakan, yang dirasakannya kini hanyalah kesepian yang terus menghantui.
Sementara itu di tempat lain, Bobby tampak duduk sendirian di teras depan rumahnya. Saat itu dia sedang memetik gitar kesayangannya sambil menyanyikan sebuah tembang lama. Maklumlah, semenjak Randy tinggal di rumah bibinya, dia lebih sering berada di rumah lantaran tidak mempunyai teman nongkrong yang sehati. Sebab, memang hanya Randylah sahabatnya yang paling mengerti dia.
“Hmm… Sebaiknya sekarang saja aku menemuinya, mumpung ibuku lagi tidak pakai mobil,” gumam Bobby seraya bergegas menyimpan gitarnya, kemudian dengan segera mengendarai sedan birunya menuju tempat tujuan.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Bobby tiba di kediaman Randy. Kini dia sedang bicara dengan bibi Randy yang saat itu merasa prihatin dengan perubahan prilaku keponakannya. "Hmm… jadi, sudah lebih dari dua minggu ini Randy sering menyendiri?" tanya Bobby perihal sahabatnya yang diketahui sedang mengalami masalah.
"Betul, Nak Bobby. Tante sendiri tidak tahu kenapa dia bisa menjadi seperti itu. Soalnya setiap kali Tante menanyakannya dia tidak pernah mau berterus terang. Mungkin jika kau yang menanyakannya, dia akan mau berterus terang."
"Eng, kalau begitu aku memang harus segera menemuinya. O ya, ngomong-ngomong dia sedang di mana, Tante?" tanya Bobby.
"Biasa… dia menyendiri di atap bis yang ada di bengkel sebelah, Nak."
"Baiklah Tante, kalau begitu aku akan menemuinya sekarang," pamit Bobby seraya bergegas ke bengkel sebelah. Setibanya di tempat itu, dia melihat Randy tampak masih duduk termenung. "Ran? Sedang apa kau di sini?" tanya Bobby yang kini juga sudah berada di atap bis. Saat itu Randy tidak menyahut, dia masih saja terlena dengan lamunannya. "Ran? Kau sedang apa?" tanya Bobby lagi seraya menepuk pundak sahabatnya. Seketika itu juga Randy tersadar, kemudian menatap pemuda itu dengan pandangan kosong. Namun tak lama kemudian, pemuda itu sudah kembali berpaling—memperhatikan sebuah rumah yang ada di kejauhan. Sepertinya saat itu dia merasa berat untuk menceritakan hal sebenarnya. Mengetahui itu, Bobby kembali bertanya, "Apa yang kau lamunkan, Ran? Sampai-sampai kau tidak mendengar perkataanku. Ayo dong, Ran! Katakan padaku!" pinta Bobby seraya duduk di sebelahnya.
Karena terus didesak, akhirnya terpaksa Randy mengatakannya, "Begini Bob! Aku sedang patah hati. Hubunganku dengan Yuli sudah putus."
"A-apa! Kau dan Yuli putus?" Bobby sangat terkejut mendengar berita itu. "Kenapa hal itu bisa terjadi, Ran?" tanyanya kemudian.
"Itu semua karena aku telah difitnah oleh Erna, Bob."
"E-erna... Siapa itu Erna?"
"Dia itu sahabatnya Yuli, Bob."
"O..." Bobby tampak mengangguk-angguk, "Eng… Ngomong-ngomong, kenapa dia sampai tega memfitnahmu, Ran?" 
"Begini ceritanya, Bob…."
Randy pun segera menceritakan perihal kejadian itu, pada saat itu Bobby terus mendengarkan dengan penuh prihatin.
“Hmm… kini aku mengerti, ternyata memang Erna biang keladinya. Kalau begitu, kau jangan khawatir, Ran. Aku pasti akan membantumu. O ya, ngomong-ngomong… Perutku sudah lapar sekali nih. Kita makan dulu yuk!" ajak Bobby.
"Maaf, Bob. Kau makan sendiri saja. Terus terang, aku belum lapar."
"Ayolah...! Kita makan mi rebus saja!"
Mengetahui itu, Randy pun langsung berubah pikiran. "Eng, baiklah… kalau begitu aku mau. O ya, ngomong-ngomong kita akan makan di mana?"
"Hmm... Bagaimana kalau di warung yang ada di dekat pertigaan?"
"Oke, aku setuju. Kalau begitu, ayo kita berangkat!"
Lantas kedua pemuda itu segera turun dan atap bis dan melangkah pergi. Setibanya di tempat tujuan, mereka langsung memesan dua mangkuk mi. Sambil menunggu mi itu matang, mereka tampak berbincang-bincang sambil memandang ke arah jalan. Saat itulah, pandangan salah satu dari mereka tiba-tiba tertuju kepada seorang gadis yang sedang jalan sendirian. "Nah itu dia, Bob. Wanita yang bernama Erna—wanita yang telah memfitnah aku," katanya dengan nada marah—sepertinya saat itu dia begitu ingin menghajarnya.
"O... jadi itu yang namanya Erna," kata Bobby seraya memperhatikan gadis yang dimaksud.
"Kalau saja dia bukan perempuan, pasti sudah kubuat babak-belur," kata Randy geram.
"Sudahlah, Ran! Sebaiknya kita lupakan dulu masalah itu. Lebih baik sekarang kita makan dulu!" pinta Bobby seraya mengambil semangkuk mi yang baru saja matang.
Kemudian keduanya tampak menikmati makanan itu dengan lahapnya. Selesai makan, mereka kembali berbincang-bincang sambil menikmati sebatang rokok. Beberapa menit kemudian, Bobby dan sahabatnya sudah meninggalkan warung dan sedang melangkah menuju ke kediaman Randy. Setibanya di tempat itu, mereka kembali ngobrol hingga menjelang senja. Bobby yang saat itu menyadari hari sudah mulai gelap akhirnya memohon diri, "Ran? Sekarang aku pulang dulu ya, besok kita bertemu lagi."
"Yoi, Bob. Sampai bertemu besok,” ucap Randy seraya memperhatikan sahabatnya memasuki mobil yang diparkir di halaman.
Tak lama kemudian, Bobby sudah melaju dengan sedan birunya. Kini pemuda itu sedang dalam perjalanan, lalu tanpa sengaja dia melihat Erna yang sedang jalan berduaan dengan seorang pemuda. "Lho… i-itukan si Erna. Kenapa dia bergandengan tangan dengan Johan. Hmm… Sebenarnya siapa Erna itu? Apa mungkin dia itu pacarnya Johan? Jika memang demikian, lalu apa motifnya merusak hubungan Randy dengan Yuli? Hmm... betul-betul membingungkan, kalau begitu sebaiknya nanti malam aku akan ke tempat tongkrongan Johan. Aku akan menyelidiki hal ini lebih jauh lagi, mungkin saja di sana aku akan menemukan jawabannya."
 Bobby terus memacu mobilnya sambil memikirkan berbagai peristiwa yang baru dialaminya, hingga akhirnya dia tiba dirumah ketika azan magrib usai berkumandang.

 

Esok harinya, matahari tampak condong ke barat, panas pun sudah tak begitu menyengat lagi. Sepulang dari rumah sahabatnya, Bobby langsung menemui Erna guna melanjutkan penyelidikannya semalam. Kali ini dia berlagak menjadi teman Yuli dan mengajak Erna berbincang-bincang. Lama mereka berbincang-bincang, hingga akhirnya gadis yang bernama Erna itu tampak memasang wajah garang. "Hei! Memangnya kau itu siapa? Kenapa kau ingin tahu urusanku segala?" tanya Erna dengan alis merapat dan bola mata yang tampak membesar.
"Mengaku saja, Er. Kau memang menyukai Randy kan? Dan kau menfitnah Yuli agar kau bisa memilikinya. Iya kan?"
"Huh! Apa untungnya jika aku memberitahumu?"
"Bukan apa-apa, Er. Kalau kau memang menyukai Randy, katakan saja terus terang. Jangan pakai memfitnah Yuli segala!"
"Huh! Siapa yang menyukai pria munafik seperti dia. Lagi pula, priaku si Johan lebih oke ketimbang dia."
"Johan yang bandar narkoba itu? Huh, pria seperti itu saja kau bangga-banggakan," kata Bobby sinis. 
"Huh! Tahu apa kau soal dia. Johan itu pria baik-baik, dia tidak seperti Randy yang mata keranjang dan suka bertindak tak senonoh."
Tiba-tiba sebuah tamparan melayang ke pipi Erna, "Dasar! Kau memang wanita murahan, aku lebih mempercayai kata-kata sahabatku dari pada kata-katamu. He, dengar ya! Aku kenal betul siapa Randy, dia tidak mungkin berbuat begitu, dan dia tidak mungkin suka dengan wanita sepertimu."
Sambil terus mengusap pipinya yang terasa panas, Erna memandang Bobby geram, "He, Bob. Dengar ya! Aku memang menyukai Randy. Dia memang pria yang selama ini aku idam-idamkan, sebab dia bisa menjadi suami yang baik untukku. Tidak seperti Johan yang hanya mau menikmati tubuhku tanpa perasaan cinta sedikit pun, selama ini aku hanya dijadikan objek pemuas birahinya. Terus terang, aku iri dengan Yuli yang bisa mendapatkan pria yang mencintai dan menyayanginya dengan sepenuh hati. Karenanyalah, aku tidak senang jika Yuli bisa bahagia sedangkan aku tidak. O ya, Bob! Dengar baik-baik. Yuli lebih percaya padaku, dan usahamu untuk menyatukan mereka akan sia-sia. Dan satu lagi, kau akan mendapat balasan akan perbuatanmu tadi. Nah, sekarang juga pergi kau dari sini!"
"Oke oke... sekarang juga aku pergi! Kini aku tahu siapa kau sebenarnya, kau memang ular berbisa, dan aku sama sekali tidak takut dengan ancamanmu itu," umpat Bobby seraya melangkah meninggalkan tempat itu.
Hari itu juga Bobby langsung menuju ke rumah Yuli guna menyelesaikan masalah yang dihadapi sahabatnya. Setibanya di tempat itu, dia langsung menjumpai Yuli dan mulai menceritakan perihal siapa Erna sebenarnya. "Begini, Yul. Kemarin aku sempat melihat dia dan Johan jalan berduaan. Aku tahu betul siapa si Johan, dia itu seorang bandar narkoba. Setelah kuselidiki lebih lanjut, ternyata Erna juga seorang pemakai. Bahkan demi untuk barang haram itu dia rela untuk menyerahkan kehormatannya. Karena itulah, selama ini dia sering nongkrong di tempat Johan guna memenuhi kebutuhannya. O ya, tadi aku juga baru tahu kalau ternyata Erna memang mencintai Randy, dan karena itulah semuanya menjadi jelas, bahwa apa yang dikatakan Randy mengenai Erna adalah benar. Saat itu Erna sengaja menfitnahmu demi mendapatkan Randy. Namun ternyata dia keliru, saat itu Randy justru tidak percaya dan langsung menamparnya lantaran kesal. Saat itulah kau datang, hingga akhirnya Erna pun segera memanfaatkan situasi itu. Aku menduga dia melakukan itu karena sudah kehabisan akal, jika dia tidak bisa mendapatkan Randy, maka merusak hubungan kalian adalah hal yang bisa menyenangkan hatinya."
"O ya, Kak. Ngomong-ngomong, apa yang dikatakan Erna pada Randy waktu itu?"
"Menurut cerita Randy, Erna mengatakan kalau kau sudah tidak gadis lagi, dan kau suka tidur berdua di rumah kosong bersama si Ari."
"A-apa??? Erna berkata begitu? Sungguh aku tidak menyangka, kalau dia telah tega memfitnahku sedemikian keji. Ta-tapi... Apa iya Erna akan setega itu, sebab selama ini dia sudah begitu baik padaku. Eng… Jangan-jangan, Kak Randy telah memfitnahnya, Kak?"
"Percayalah Yul! Biarpun selama ini Erna baik padamu, namun kalau dia diam-diam juga mencintai Randy bisa saja dia berbuat demikian. Apa lagi Erna sudah terlibat dengan yang namanya narkoba, dan hal-hal semacam itu sangat mungkin dilakukan. Sebab NARKOBA (Narkotika dan obat-obatan berbahaya) mempunyai dampak negatif yang merugikan aspek jiwa, yaitu pada tahap-tahap awal pemakaiannya maupun pada tahap-tahap adiktif (ketagihan). Ketika pertama kalinya seseorang mengkonsumsi narkoba, ia merasakan pikirannya kacau, tidak dapat membedakan sesuatu dengan baik, cepat emosi, dan perasaannya tidak aktif. Dengan terus-menerus mengkonsumsinya, pelakunya menjadi malas, sedikit kerja, menghabiskan waktunya dalam mimpi-mimpi soal kebangkitan. Ia tidak mampu menghadapi realitas yang ada di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itu, ia berkelit dengan tipuan, manipulasi, pemalsuan, dan melanggar hukum. Banyak sekali generasi muda yang mengkonsumsi NARKOBA menderita gangguan di otaknya, kemudian terlihat pada mereka gangguan pendengarannya, pengelihatannya, dan perasaannya. Hingga seolah-olah mereka merasakan sakit di sekujur tubuhnya atau melemahnya kerja seluruh organ tubuhnya, atau mereka merasakan sepertinya ada serangga yang menjalar di sekujur tubuhnya. Apalagi jika dia sudah menjadi seorang yang paranoid, dia bisa kehilangan kepercayaan diri, bahkan dia mulai mencurigai siapa saja yang berada di dekatnya, dan bertindak di luar akal sehatnya."
"Tapi, Kak. Aku masih ragu dengan segala keteranganmu itu."
"Oke, Yul! Kalau kau masih juga tidak percaya, kita bisa membuktikan siapa Erna itu sebenarnya. Bagaimana kalau malam ini kau ikut denganku untuk melihat secara langsung tindak-tanduk Erna di tempat tongkrongannya."
"Baiklah, Kak. Kalau begitu, aku bersedia ikut denganmu malam ini."
Setelah berbincang-bincang lebih lanjut, akhirnya Bobby pamit pulang. Pada saat yang sama, Yuli masih memikirkan perihal Erna, sungguh dia tidak sabar ingin membuktikan semua kata-kata Bobby yang masih sulit dipercaya.

 

Malam harinya, Bobby dan Yuli sudah berada di tempat tongkrongan Johan. Dari tempat yang tersembunyi, mereka tampak mengawasi tindak-tanduk Erna yang sedang berpesta narkoba. Saat itu Yuli hanya bisa tertegun menyaksikan sahabatnya yang sedang mabuk dan terus digerayangi oleh pacarnya yang bernama Johan.
"Bagaimana, Yul? Apa sekarang kau percaya?" tanya Bobby berbisik.
"Iya, Kak. Aku benar-benar tidak menduga, ternyata Erna memang seperti itu."
"Kalau begitu, ayo kita pergi dari sini!" ajak Bobby kepada gadis itu.
Mereka pun segera bergegas meninggalkan tempat itu. Dalam hati, Yuli sudah benar-benar yakin kalau semua perkataan Bobby waktu itu memang benar adanya, dan sekarang pun dia sudah berniat untuk menemui Randy dan meminta maaf padanya.
Sementara itu di tempat lain, Randy terlihat sedang duduk sendirian sambil menikmati sebatang rokok. Sesekali dia menghembuskan asap rokoknya dengan membentuk cincin, yang akhirnya hancur terkena hempasan angin. Kini di dalam benaknya, pemuda itu sedang membayangkan gadis yang begitu dicintainya. "Yul... kau adalah gadis yang paling kucinta. Cintaku padamu lebih besar daripada gadis lain yang pernah kucinta. Aku tak tahu apakah kita akan bersatu kembali? Andaipun Bobby tidak bisa membuatmu percaya, aku hanya bisa pasrah dan mencoba untuk menerimanya."
Kini pemuda itu melangkah menuju ke muka rumah, dan ketika dia melihat Bobby dan Yuli sedang melangkah mendekat, pemuda itu pun langsung tertegun.
"Hai, Ran!" sapa Bobby pada pemuda itu..
Saat itu Randy tidak membalas, dia masih saja tertegun—memperhatikan gadis yang kini sudah berdiri di hadapannya.
"Kak!" panggil Yuli berusaha menyadarkan pemuda itu.
Seketika Randy tersadar. "E-eh, ma-maaf! Ayo Bob, Yul… mari masuk!" ajaknya kepada Bobby dan Yuli.
Kini ketiganya sudah duduk di kursi teras. Pada saat itu, Yuli langsung mengungkapkan isi hatinya, "Kak Randy? Sekarang aku sudah tahu siapa Erna, dia memang bukan wanita baik-baik. Dan aku berharap, kau mau memaafkanku. Terus terang, aku menyesal karena tidak mempercayai ucapanmu tempo hari."
"Sudahlah Yul...! Aku bisa mengerti kok. Aku memang tidak menganggapmu bersalah karena Erna-lah yang bersalah, saat itu dia telah memfitnahku sehingga membuatmu bertindak demikian."
Saat itu Yuli begitu senang mendengar kata-kata itu. Lantas dengan segera dia kembali berkata, "Kak... aku berharap kita bisa melanjutkan hubungan kita yang telah putus. Sebenarnya aku memang tidak bisa melupakanmu, aku ingin sekali jika hubungan kita kembali seperti semula."
"Benarkah? Oh, Yul... aku bahagia sekali mendengarnya."
"Iya, Kak... selama ini aku begitu menderita, aku selalu merindukanmu."
"Aku juga demikian, Yul."
Tiba-tiba Bobby bangkit dari tempat duduknya, "Ran? Aku permisi dulu ya!"
Mengetahui itu, Randy segera berdiri. "Kenapa buru-buru, Bob! Bukankah kau baru saja sampai. Aku pun belum sempat membuatkanmu minum," tahan pemuda itu kemudian.
"Sudahlah, Ran! Kau tidak perlu repot-repot. Lagi pula, aku memang tidak bisa lama-lama, soalnya aku ada sedikit keperluan yang mesti segera kuselesaikan."
"Kalau begitu, terima kasih ya, Bob! Kau telah mempersatukan kami lagi, dan kau memang benar-benar sahabatku yang paling baik."
"Sudahlah, Ran! Itu semua memang sudah kehendak Tuhan. Lagi pula, kau kan sahabatku, dan memang sudah sepantasnya aku berbuat demikian."
"Sekali lagi terima kasih, Bob!"
"Oke, Ran. Sampai bertemu lagi. O ya, Yul? Aku pulang dulu ya!" pamit Bobby seraya melangkah menuju mobil yang diparkir di depan rumah Randy.
Pada saat yang sama, Randy dan Yuli tampak mengiringinya hingga ke depan pintu pekarangan. Setelah melambaikan tangan pada keduanya, Bobby segera melaju meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Bobby, Randy dan Yuli kembali duduk, kemudian mereka bersama-sama mencurahkan segala kerinduan yang selama ini terpendam.

 

Seminggu kemudian, di negeri nan jauh di sana, matahari sudah condong ke barat. Saat itu, sepasang muda-mudi tampak sedang berperahu di sebuah danau yang indah sambil menikmati suasana yang begitu romantis. Tak lama kemudian, yang pria terlihat menggenggam tangan Sang Gadis sambil memandang wajahnya yang cantik, kemudian meremasnya perlahan sambil berkata, "Lisa... aku mencintaimu, Sayang...."
"Aku juga mencintaimu, Piet." Balas Lisa seraya memandang Pieter dengan sorot mata yang berbinar-binar, kemudian kedua matanya tampak terpejam.
Saat itu Pieter langsung mencium keningnya dengan penuh kasih sayang. Kini mata Lisa sudah kembali terbuka, saat itu dia tampak menatap Pieter sambil tersenyum manis, kedua matanya yang bening seakan tak mau perpaling—terus menatap mata kekasihnya yang berwarna coklat, yang kini dilihatnya seolah berbicara mengenai isi hatinya terdalam.
Kini Pieter tampak melepaskan genggamannya, lalu dengan perlahan sekali tangannya menelusuri pipi Lisa hingga ke bagian tengkuk, dan seketika itu juga bibirnya mendarat di bibir Lisa yang merah alami. Hangat bibir Lisa membuat tubuh pemuda itu seakan melayang, melayang semakin tinggi bersama ribuan bunga warna-warni yang terus mengelilinginya. Perasaan yang sama juga dialami oleh Lisa, lalu tanpa sadar tangannya sudah melingkar di pinggang Pieter. Kemudian keduanya semakin larut dalam menikmati candu asmara, yang perlahan namun pasti terus menodai hati tanpa mereka sadari. Ketika Pieter hendak bertindak lebih jauh, tiba-tiba… "Hentikan Piet!" kata Lisa tersadar, kemudian gadis itu tampak melepaskan pelukannya dan segera berpaling.  
"Li-Lisa! Ada apa?" tanya Pieter tak mengerti.
"Maaf Piet...! Aku tidak bisa melakukan itu."
"Kenapa?"
"Karena kita belum menikah. Terus terang, aku menyesal karena telah memberikan kesempatan yang seharusnya tidak kulakukan. Selama ini aku telah mengabaikan apa yang dilarang agamaku. Semula kupikir aku bisa mengendalikan diri, tapi ternyata aku sudah bertindak terlalu jauh. Selain itu... keadaan kita sungguh jauh berbeda."
"Apakah karena aku orang Belanda dan kau orang Indonesia."
"Bukan... bukan soal itu."
"Lalu… soal apa?"
"Kepercayaan kita yang berbeda, dan kita tidak akan mungkin bisa menikah. Maaf Piet! Seharusnya aku tidak boleh mencintaimu, tapi... entahlah... aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa mencintaimu."
"Kenapa? Kenapa hanya karena kepercayaan kita berbeda, lantas kau tidak boleh mencintaiku, dan kenapa kita tidak mungkin menikah?"
"Karena ajaran agamaku memang melarangnya. Seorang wanita muslim tidak boleh menikah dengan pria yang tidak seiman tanpa ada toleransi. Kalaupun hal itu terjadi, itu sama saja dengan kumpul kebo. Karena pernikahan itu dianggap tidaklah sah. Hmm… bukahkah agamamu juga melarangnya?"
"Ya… setahuku memang begitu. Tapi…"
"Sudahlah, Piet …! Bukankah kita orang yang beragama, dan sebaiknya kita mematuhi apa yang ada di agama kita masing-masing."
Sejenak Pieter terdiam. Sepertinya saat itu dia tampak sedang memikirkan sesuatu. "Hmm… bagaimana jika aku mengakui kepercayaanmu?" tanyanya tiba-tiba.
Mendengar itu, Lisa kontan tersentak. Sungguh dia tidak menduga kalau pemuda itu rela menukar kepercayaannya hanya demi cinta. " Piet... kau tidak bisa seperti itu. Sebaiknya kau pikirkan dulu masak-masak, karena hal ini bukanlah perkara main-main. Sekali lagi aku sarankan, sebaiknya kau pikirkan dulu masak-masak itu, dan kalau kau sudah benar-benar yakin barulah kau bisa mengambil putusan."
"Baiklah Lis... aku akan mengikuti saranmu itu. Terus terang, bagiku ini memang masalah yang sangat menyulitkan. Namun demi cintaku padamu, aku akan berusaha mencari tahu mengenai agamamu di pusat pengembangan agama Islam. Semoga dengan begitu aku bisa mendapat petunjuk, apakah aku layak menukar keyakinanku atau tidak."
" Piet... Apakah kau sungguh-sungguh dengan perkataanmu itu?"
"Tentu saja, Lis. Sebab, hanya dengan cara itu aku bisa mendapatkan petunjuk. Lagi pula, andaipun aku tidak bisa berpindah keyakinan, aku akan tetap selalu mencintaimu. Eng, bukankah cinta itu tidak berarti harus memiliki."
"Oh, Piet... Aku sangat mencintaimu. Aku sependapat kalau cinta memang tidak harus memiliki, namun kepedulian atas nama cinta itulah yang terpenting. "
"Aku juga, Lis. Aku sangat mencintaimu. Sebab, kau bukanlah gadis yang memanfaatkan cinta demi untuk menukar keyakinan seseorang. Cintamu padaku adalah cinta yang tulus, yang mana telah begitu mempedulikan keyakinanku."
"O ya, Piet... Ngomong-ngomong, bagaimana kalau sekarang kita pulang? Lihatlah…! Hari sudah semakin sore."
"Kau benar, sebaiknya kita memang harus pulang," kata Pieter seraya mendayung perahu yang mereka tumpangi menuju ke tepian.
Tampaknya kini hubungan Pieter dan Lisa sudah semakin erat, walaupun pada mulanya Lisa begitu mencintai Randy. Semua itu dikarenakan selama ini Pieter sangat baik dan begitu perhatian padanya, selama ini pula mereka sering bertemu dan membuat benih-benih cinta terus tumbuh di hati keduanya, hingga akhirnya cinta mereka semakin besar dan tinggal menunggu untuk berbuah.
Kini Pieter dan Lisa sudah tiba di tepi danau, lalu dengan berhati-hati Pieter membantu Lisa turun dari atas perahu, kemudian melangkah pulang sambil bergandengan tangan. Saat itu di batas cakrawala terlihat lembayung dengan warna jingga dan kuning keemasan, sungguh perpaduan warna yang begitu indah.

 

Keesokan harinya, di negeri yang sangat jauh dari tempat kediaman Lisa. Bobby tampak sedang memacu sedan birunya melewati sebuah jalan yang sepi. Ketika melewati sebuah jembatan yang agak rusak, tiba-tiba dia di hadang oleh pemuda yang berperawakan agak kurus. Pemuda itu ternyata si Johan. Entah apa mau dia sebenarnya, yang jelas kini mereka sedang bercakap-cakap.
"Han, apa maksud ucapanmu itu?" tanya Bobby dengan wajah geram.
"Huh! Bagaimanapun juga tindakanmu itu telah meremehkan aku, Bob," kata Johan seraya mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya.
"Han! A-apa-apaan ini? A-aku..."
Belum sempat Bobby menyelesaikan kalimatnya, Johan sudah memotong. "Sudahlah, Bob! Kau tidak perlu mungkir. Kau sudah menantang aku, kan? Soalnya kata Erna, kau bilang aku ini tidak ada apa-apanya. Karenanyalah, aku ingin memberi pelajaran padamu agar kau tidak asal sembarangan bicara."
Setelah berkata begitu, Johan tampak menghunuskan pisaunya ke arah Bobby dan bersiap-siap menyerangnya.
"Tunggu dulu, Han! Terus terang, aku tidak pernah bicara seperti itu. Rupanya Erna telah memanas-manasimu dengan cara memfitnahku seperti itu."
"Sudahlah, Bob! Jangan banyak bicara! Pokoknya sekarang aku akan menghabisimu."
"Baiklah, kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu. Hmm... kau pikir aku takut dengan sebilah pisau seperti itu," kata Bobby seraya memasang kuda-kudanya.
Mendengar itu, Johan semakin bertambah geram. Lalu dengan serta-merta, dia segera menikamkan pisaunya ke arah Bobby. Mengetahui itu, Bobby segera berkelit menghindar, kemudian dengan sigap pemuda itu berhasil menangkap lengan Johan dan langsung memitingnya dengan sekuat tenaga. Kini Bobby sedang berusaha keras menjatuhkan pisau yang bisa mengancam jiwanya. Setelah berhasil, dia pun langsung membanting Johan hingga terjerembab ke aspal. Tak ayal, saat itu juga Johan langsung meringis kesakitan—tubuhnya yang terbentur dengan aspal dirasakan sakit semua.
Kini pemuda yang bernama Johan itu berusaha bangkit kembali, saat itu kemarahannya sudah semakin meluap-luap. Mengetahui itu, Bobby pun tidak tinggal diam, lalu dengan segera dia menghampiri Johan dan mencengkram kerah bajunya dengan sangat kasar. "Jangan sekali-kali kau menikamkan pisau ke arahku, Han!" katanya seraya menghajar wajah Johan dengan begitu keras.
Tak ayal, pukulan yang begitu keras itu membuat Johan kembali meringis, dan di saat itu pula, darah segar tampak keluar dari sela bibirnya. Sungguh pukulan itu telah membuatnya tak berdaya untuk bangkit kembali. Melihat lawannya sudah tak berdaya, akhirnya Bobby segera beranjak menaiki mobilnya, kemudian terus berlalu meninggalkan Johan yang sedang kesakitan. Sementara itu, Johan tampak berusaha bangkit dengan sekuat tenaga. Pada saat itu, kedua matanya terus menatap kepergian Bobby dengan pancaran dendam yang berkobar-kobar. "Awas kau, Bob! Lihat pembalasanku nanti," ancamnya seraya mengelap darah yang tadi mengalir di sela bibirnya. Kemudian dengan tertatih-tatih, pemuda itu segera menaiki sepeda motornya dan terus berlalu meninggalkan tempat itu. Dedaunan kering terlihat berterbangan diterpa berhembus kencang laju sepeda motornya, sementara itu sinar mentari yang akan kembali ke peraduan tampak membias menciptakan sebuah siluet pengendara sepeda motor yang terus menjauh.
 
 

Seminggu kemudian, di sore yang cerah. Johan dan teman-temannya terlihat sedang berbincang-bincang di depan warung dekat perempatan jalan. Pada saat itu, siswa-siswi berseragam abu-abu terlihat melintas sambil bercanda ria, rupanya anak-anak SMU 2013 baru saja bubar sekolah.
"Nah... itu dia si Nina," kata seorang  yang duduk di sebelah Johan.
"Kau yakin, Jek?"  tanyanya seraya memperhatikan gadis yang dimaksud.
"Tidak salah lagi, Han. Itu memang dia," ucap temannya meyakinkan.
"Ok deh, Jek. Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Johan seraya bergegas mengendarai sepeda motornya dan menghampiri Nina yang sedang berjalan seorang diri.
"Hai, Nin!" Sapa Johan seraya menghentikan laju sepeda motornya.
"Mmm.. Siapa ya?" tanya Nina heran.
"Kenalkan, namaku Parhan," ucap Johan memperkenalkan diri dengan nama samaran. "O ya, Nin. Hari ini Bobby tidak bisa menjemputmu, soalnya dia sibuk sekali," sambungnya kemudian.
"O... jadi kau temannya Bobby, dan dia memintamu untuk menjemputku?" tanya gadis itu tanpa curiga.
"Betul, Nin. Mari, aku antar kau pulang!"
Tanpa ragu-ragu, Nina pun ikut membonceng. Kini motor besar dua silinder menderu meninggalkan tempat itu. Lima menit kemudian, Bobby yang hendak menjemput kekasihnya tiba di tempat tujuan, dan dia tampak heran ketika mengetahui Nina sudah tak ada. Ketika Bobby tengah berpikir, tiba-tiba dari arah warung terlihat seorang gadis yang datang menghampiri.
"Kak? Nina baru saja di jemput," kata gadis yang ternyata temannya Nina.
"A-apa! Di-dijemput...? Sama siapa, Ver?" tanya Bobby heran.
"Tidak tahu, Kak. Aku juga baru melihatnya. Yang jelas, dia itu seorang pemuda tampan."
"Hmm... Siapa ya?" tanya Bobby dalam hati. "Oke deh, Ver. Kalau begitu aku pergi sekarang."
Vera tampak mengangguk sambil tersenyum tipis. Tak lama kemudian, Bobby sudah memacu mobilnya meninggalkan tempat itu. Suara mesin yang menderu seketika menutup ocehan para siswa-siswi yang masih saja melintas. Sementara itu Johan dan Nina masih dalam perjalanan, tampaknya saat ini mereka sudah mulai akrab. "Eh, Nin? Bagaimana kalau kita minum dulu di warung itu !" Ajak Johan kepada Nina.
"Boleh... tapi jangan lama-lama ya!"
Johan pun segera memarkir sepeda motornya dan melangkah bersama memasuki warung.
"Kau mau minum apa, Nin?" tanya Johan.
"Apa saja deh," jawab Nina.
"OK! Kalau begitu, cola-nya dua botol, Bu !" Pesan Johan.
Kini mereka tampak menikmati cola sambil bercakap-cakap dengan penuh keakraban. Setelah agak lama bercakap-cakap, tiba-tiba Nina berdiri dari duduknya. "Han, aku kebelet pipis nih," katanya sungguh-sungguh.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba," ucap Johan dalam hati. Lalu dengan segera pemuda itu memberitahukan perihal toilet yang ada di belakang warung.
Mengetahui itu, Nina pun segera pergi ke belakang. Pada saat sama, Johan lekas-lekas memasukkan sesuatu ke dalam minuman Nina yang kini tinggal setengah. Tak kemudian, Nina sudah kembali dan langsung berbincang-bincang sambil menikmati minumannya lagi.
Setelah menghabiskan minumannya masing-masing, keduanya kembali melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Nina merasakan sesuatu. "Han! Rasanya kepalaku agak pening, dan mataku pun mulai berkunang-kunang," katanya seraya menyandarkan kepalanya di punggung Johan.
"Ka-kau sakit, Nin?" tanya Johan pura-pura khawatir.
"Benar, Han. Sepertinya memang begitu," jawab Nina pelan.
"Hmm... Kalau begitu, bagaimana kalau kita ke tempat kost-ku dulu! Kebetulan tempat itu sudah tidak begitu jauh. Di sana aku ada obat sakit kepala, selain itu kau pun bisa istirahat sebentar," saran  Johan.
"Kau baik sekali, Han! Rasanya aku memang tidak kuat lagi nih," rintih Nina.
Lalu tanpa curiga, Nina pun menerima tawaran itu. Setibanya di tempat kost, Nina segera dibopong dan dibaringkan di atas tempat tidur.
"Han! Mataku semakin kabur. A-aku..." tiba-tiba Nina tidak sadarkan diri. Mengetahui itu, Johan pun sangat senang bukan kepalang. Matanya tak berkedip memperhatikan setiap lekuk tubuh Nina yang menggugah selera, kemudian dengan segera pemuda itu melaksanakan niat bejadnya—merenggut kesucian gadis yang masih belia itu.

 

Semenjak kejadian itu, Nina merasa sudah tidak berharga lagi. Apa lagi bila Bobby mengetahuinya, terbayang sudah bagaimana pemuda itu akan sangat kecewa dan memutuskannya. Itulah segala prasangka yang ada di benaknya saat itu. Sehingga Nina terus membayangkan berbagai hal yang tidak mengenakkan mengenai apa yang akan terjadi kemudian, bahkan segala penderitaan yang akan dialaminya telah terbayang sudah. Karena Nina terus membayangkan hal-hal yang seperti itu, akhirnya setan pun menghampiri dengan segala bisikannya yang menyesatkan, dan akibatnya Nina pun terpedaya dengan bisikan itu. Kemudian dengan sebilah silet, gadis itu berniat membunuh dirinya sendiri. Saat itu Nina memang sudah tidak bisa mencari jalan keluar untuk memecahkan masalahnya, ditambah lagi dia sudah tidak kuat menahan beban penderitaannya. Karena itulah, akhirnya dia nekad untuk mengakhiri segala penderitaannya. "Bobby... maafkan aku yang telah mengecewakanmu," ucap Nina dalam hati seraya menorehkan silet ke urat nadinya. Tak ayal, saat itu juga darahnya langsung mengalir membasahi lantai, dan tak lama kemudian gadis itu sudah menemui ajalnya.
Begitulah jika hati sudah tak mampu lagi membedakan mana yang baik dan yang buruk, dan itu lantaran dia telah menodainya dengan melakukan pacaran yang menyimpang, yaitu seringnya melakukan pelukan dan ciuman. Andai saja hatinya tidak kotor, tentu dia akan mudah bisa membedakan, dan dia tidak akan begitu saja termakan godaan setan. Bukankah bunuh diri itu dosa besar, dan di kehidupan nanti alat yang digunakannya itulah yang akan dipakai untuk membunuh dirinya secara terus-menerus. Andai saja hatinya bening, tentu dia tidak akan menjadi sebodoh itu. Karena sesungguhnya Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Biarpun dia telah ternoda, tidak mustahil Bobby tetap mencintainya, atau justru malah semakin sayang padanya.