Tiga
Seminggu berada di Pesantren, Dara mulai enggak betah. Padahal institusi itu sangat baik dan bisa dipastikan membuat siapa saja yang menuntut ilmu di tempat itu bisa menjadi orang-orang yang baik. Tapi itu bukan buat Dara, institusi yang baik itu emang bukan tempat yang cocok buat cewek seperti dia, segala peraturan dan kedisiplinan yang diterapkan benar-benar membuatnya seperti hidup dalam penjara. Maklumlah, sebagai cewek megapolitan yang modern dan hidup di era demokrasi yang kebablasan membuatnya merasa teraniaya dan enggak merdeka. Ini enggak boleh, itu enggak boleh. Baginya di tempat itu dia sulit mengekspresikan diri, yang menurut pandangannya terlalu mengekang dan memenjarakan hak-haknya sebagai orang merdeka. Bagaimana enggak, di tempat itu dia harus mengenakan busana muslim yang menurut pandangannya membuat dia enggak bisa bergerak bebas, panas, dan masih banyak lagi alasan yang dikemukakan. Enggak bisa pergi ke tempat-tempat yang ia sukai buat bersenang-senang. Enggak bisa bebas bergaul dengan lawan jenis sehingga membuat hidupnya terasa benar-benar hampa, dan masih banyak lagi.
Kini cewek itu tengah berbincang-bincang kepada seorang seniornya yang dilihatnya selalu riang di dalam kesehariannya. "Kak Sifa, kok kamu betah sih tinggal di sini?" tanyanya heran.
"Kenapa enggak, di tempat ini kan aku bisa mengekspresikan diri dengan bebas. Aku bisa menulis puisi atau cerpen yang makin membuatku lebih mencintai Tuhan, melantunkan salawat yang indah sehingga hatiku terasa sejuk, membaca Al-Quran dengan hikmat sehingga segala yang terkandung di dalamnya benar-benar bisa aku pahami, Sholat dengan khusuk sehingga makin membuatku merasa bukan apa-apa, berorganisasi dengan cara Islami sehingga membuatku menjadi orang yang makin bertanggung jawab, dan masih banyak lagi hal-hal yang menyenangkan yang bisa aku lakukan. Jadi, enggak ada alasan buatku untuk enggak betah. Bahkan aku kepingin selamanya berada di tempat ini. Setelah lulus nanti, aku malah kepingin untuk mengabdi di sini."
"Apa?? Semua yang Kakak sebutin itu menyenangkan, apa aku enggak salah dengar? Bukankah semua itu cuma bikin bete? "
"Kamu benar, Ra. Jika hati seseorang masih belum bersih, tentu hal-hal semacam itu emang enggak menyenangkan. Baginya akan sulit untuk bisa merasakan suatu kenikmatan yang sebetulnya bisa dia rasakan. Dan itu emang enggak gampang, semua harus melalui proses dan kesungguhan yang luar biasa. Beruntung sejak kecil aku sudah berada di tempat ini, sehingga aku belum sempat tercemar oleh hal-hal yang merugikan. Dan karenanyalah aku merasa bersyukur karena sudah diberi kesempatan buat merasakan kenikmatan itu, terus terang walau belum seperti yang kuharapkan."
"Hmm... apa aku bisa seperti itu?" tanya Dara.
"Kenapa enggak, jika kamu mau sungguh-sungguh berusaha, Tuhan pasti akan memberikan rahmat dan hidayah-Nya. Sehingga apa yang kita cita-citakan menjadi tercapai."
"Tapi rasanya kok sulit, ya."
"Emang sulit. Tapi, kamu kan bisa melakukannya perlahan-lahan, setahap demi setahap. Untuk sementara lakukan saja yang bisa kamu lakukan, dan terus berusaha untuk enggak mengulangi setiap kesalahan yang pernah kamu lakukan."
"Setahap demi setahap? Tapi bukankah di tempat ini kita wajib ngelakuin hal-hal yang udah menjadi ketetapan institusi."
"Emm... emangnya, kamu benar-benar merasa berat buat melakukan apa yang sudah menjadi ketetapan di sini?" tanya seniornya yang bernama Sifa itu dengan lembut.
Dara menganggukkan kepalanya.
Sifa pun tersenyum. "Apa kalau bukan di tempat ini, kamu bisa melakukannya setahap demi setahap."
Dara terdiam, dalam hati dia merasa enggak yakin apakah dia bisa melakukannya atau enggak. "Aku enggak tau," jawabnya kemudian.
"Dara... kalau kamu mau tahu. Sebenarnya di mana pun kita berada, kita bisa saja mewujudkan itu. Yang terpenting adalah kita ‘mau’. Selama kita belum mau, di mana pun kita berada tentu enggak ada gunanya. Tapi terkadang kemauan itu ada setelah adanya tekanan yang kita terima, semula hal itu kira rasakan seperti paksaan yang membuat kita ingin berontak, namun lama-kelaman kita akan menyadarinya kalau hal itu justru membuat kita makin lebih baik. Semisal, seorang cowok yang begitu lemah dan enggak berotot kepingin memiliki tubuh yang atletis. Karena keinginannya itulah akhirnya dia memasuki sebuah tempat fitness yang terbaik, namun ternyata dia sama sekali enggak mendapatkan apa yang dia inginkan. Tentu saja hal itu terjadi karena dia enggak mau konsisten melakukan apa yang sudah menjadi ketetapan tempat itu. Soalnya, tempat-tempat seperti itu emang kurang ketat dalam soal kedisiplinan. Makanya, cowok itu pun dengan seenaknya bisa melanggar apa yang sudah menjadi ketetapan. Alhasil, semua enggak ada gunanya. Tapi, ketika dia masuk militer, dia enggak bisa seenaknya melanggar peraturan, semuanya ada sangsi yang berat. Akhirnya, karena merasa terpaksa—dari pada kena hukuman, maka mau enggak mau dia harus melaksanakan peraturan yang udah ditetapkan itu. Segala bentuk latihan terpaksa dia lakukan, walaupun dia merasa begitu tersiksa. Alhasil setelah dia lulus pendidikan, maka enggak diragukan lagi—dia akan menjadi cowok yang gagah, dan dia akan menyadari kalau tanpa itu semua mungkin dia enggak akan menjadi cowok gagah seperti yang diharapkannya."
Dara tampak mengangguk-angguk karena apa yang dikatakan temannya itu emang benar. Tapi sekali lagi, cewek yang bernama Dara itu tetap saja pada pendiriannya semula. "Kak, kayaknya aku emang belum siap, atau mungkin aku emang belum mau. Entahlah, yang jelas semua itu masih terasa berat buatku."
"Kalo kamu emang belum bisa. Coba deh, memohon kepada sang Pembolak-balik Hati buat mengganti hatimu itu. Insya Allah, dengan sifat penyayang-Nya, Beliau bisa memberikanmu hati yang baik."
Tiga minggu kemudian, di sebuah institusi pendidikan yang nyaman. Langit terlihat cerah—dihiasi oleh bintang-bintang yang indah bertaburan. Cahaya rembulan pun cukup terang, membias di antara rimbunnya pepohonan liar. Saat itu, Dara tampak sedang mengendap-endap mendekati pagar setinggi dua meter yang mengelilingi Pesantren. Kemudian dengan begitu cekatan, cewek itu segera menaiki sebuah pohon yang salah satu cabangnya tampak melewati pagar. Dan dengan bergelantungan di cabang itulah dia berhasil naik ke atas pagar dan melompat turun menjauhi Pesantren.
Kini Dara mulai melangkah perlahan di bawah terangnya sinar rembulan. Sementara itu di kejauhan, terdengar lolongan anjing yang membuat bulu kuduknya sempat berdiri. Namun begitu, cewek manis itu terus nekad melangkah. Memasuki hutan lebat yang menurut orang-orang dihuni oleh berbagai macam mahluk halus.
Cewek itu terus melangkah dan melangkah, melewati semak berduri dan lebatnya pepohonan liar. Beberapa kali duri telah melukai kulitnya yang mulus, membuat goresan-goresan merah agak memanjang. "Ach...!" Dara terpekik. Lagi-lagi duri telah melukai kulitnya. Sungguh dia seorang cewek yang betul-betul nekad. Walaupun disetiap langkah ada bahaya mengancam, tampaknya dia enggak takut sedikitpun. Cewek itu terus melangkah dan melangkah, kedua matanya terus fokus mencari jalan yang bisa dilalui. Dan ketika matanya menatap ke suatu tempat, tiba-tiba dilihatnya sesosok bayangan hitam tampak berdiri di samping sebuah pohon. Tak ayal, saat itu juga Dara langsung menjerit histeris. Lantas tanpa buang waktu, cewek itu pun segera ambil langkah seribu.
Dara terus berlari dan berlari tanpa berani menengok ke belakang sedikit pun, hingga akhirnya dia tiba di tepi sebuah telaga yang enggak terlalu besar. Kini cewek itu tampak tertunduk dengan kedua tangan yang bertumpu di lutut, sedangkan nafasnya tampak begitu tersengal-sengal.
"Sedang apa kamu di tempat seperti ini?" tanya seorang tiba-tiba.
Saat itu juga Dara langsung terkejut dan berniat kembali ambil langkah seribu. Namun belum sempat dia berlari, tiba-tiba… "Hey, tunggu…!!! Aku tidak akan menyakitimu!" seru orang yang bertanya tadi menahannya.
Dara pun segera membatalkan niatnya, kemudian cewek itu tampak memperhatikan sosok pemuda yang kini tengah menghampirinya.
"Kenapa kamu lari? Aku kan cuma mau bertanya," tanya orang itu lagi.
"A-apakah kamu bu-bukan hantu?" Dara balik bertanya.
"Ha ha ha…! Rupanya kamu habis melihat hantu…"
"Kenapa kamu malah ketawa?” tanya Dara heran.
"Gimana aku enggak ketawa. Cewek yang takut hantu kok bisa-bisanya berada di tempat seperti ini."
"Terus terang, sebenarnya aku enggak suka berada di tempat seperti ini. Namun karena suatu sebab, aku terpaksa melakukannya."
"Hmm… kamu pasti lari dari Pesantren itu ya?"
"Gimana kamu bisa tahu?"
"Soalnya enggak mungkin ada cewek setempat yang berani keluar malam-malam begini. Mereka tahu benar, kalo di sini banyak hantunya."
"Mmm… kamu sendiri, bukan pemuda dari sini kan?"
"O ya, kenalkan. Aku Handy dari Jakarta."
"Eng, aku Dara. Juga dari Jakarta."
Setelah saling mengenal. Kedua muda-mudi itu melanjutkan obrolan mereka di tepi telaga itu hingga pagi hari. Sementara itu di Jakarta, orang tua Dara yang baru selesai menunaikan sholat Subuh tampak sedang berbincang-bincang di beranda. Mereka membicarakan Dara yang sudah satu bulan berada di Pesantren.
"Yah, saat ini Dara sedang apa ya?" tanya sang Istri.
"Mungkin saja dia sedang membaca Al-Quran. Soalnya di tempat itu, jam segini semua anak didik biasa diwajibkan membaca Al-Quran agar jiwa mereka senantiasa tentram."
"Syukurlah, Yah. Jika di sini, dia kan masih tidur dan baru bangun kalau matahari sudah mulai bersinar."
"O ya , Bu. Bukankah hari ini kita mau menjenguknya?"
"Betul, Yah. Aku sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengannya. Terus terang, selama ini aku sangat merindukannya."
"Aku juga, Bu. Aku sudah begitu merindukannya. Seperti apa ya putriku itu sekarang."
Kedua orang tua Dara terus berbincang-bincang hingga enggak terasa sinar mentari tampak makin terang menyinari halaman depan. Sementara itu di tepi sebuah telaga, pantulan sinar mentari tampak indah memantul di air telaga yang begitu jernih. Saat itu Dara masih berbincang-bincang dengan pemuda tampan yang bersamanya. Tampaknya dia sudah semakin akrab dan tak canggung lagi berbicara dengannya.
"Han, apa selama berpetualang menjelajahi tempat-tempat angker, elo sering menjumpai makhluk halus."
"Sering banget, Ra. Bahkan hampir di setiap tempat yang gue singgahi selalu ada penampakan."
"Apakah mereka pernah ngelukain elo?"
"Ya, kadang-kadang aja. Itu pun karena gue menantang mereka. Namun selama ini mereka enggak pernah bisa ngelukain sampai begitu parah, itu semua karena gue mempunyai bekal ilmu yang cukup, dan tentu aja atas seizin Tuhan."
"Kenapa elo menantang mereka?’
"Habis, gue kesal banget kalo mereka mencoba menyesatkan orang-orang setempat dengan segala tipu daya mereka. Sehingga orang-orang setempat begitu menghormati mereka dengan cara memberikan persembahan yang sebenarnya enggak pantas dilakuin. Bahkan ada dari orang-orang itu yang sampai menjadikannya Tuhan dan menyembah padanya. Padahal, cuma Allah-lah sebaik-baiknya Tuhan yang patut disembah."
"O ya, Han. Mau enggak elo tunjukin gue di mana jalan raya berada?"
"Tentu aja, Ra. Gimana kalo elo gue antar sampai ke sana."
"Wah, Han. Sebelumnya gue ucapin terima kasih banyak ya!"
Pemuda itu pun tampak tersenyum, dan enggak lama kemudian dia udah melangkah bersama Dara menuju ke jalan raya. Setibanya di tempat itu, Dara dan pemuda yang bersamanya tampak menunggu angkot yang biasa melewati tempat itu. Dan ketika sebuah angkot lewat, Dara pun segera menaikinya. Sementara itu, pemuda yang tadi bersamanya tampak melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan. Dara pun membalas lambaian tangan pemuda itu sambil tersenyum manis.
Kini cewek yang bernama Dara itu sedang berpikir keras, mencari alasan, agar niatnya pergi ke rumah neneknya yang berada di antara Pesantren dan Jakarta bisa berjalan dengan lancar.
Setelah menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Dara tiba di tempat tujuan. Saat ini dia tengah berbicara dengan sang Nenek di ruang tamu.
"O… jadi kamu mau liburan di sini. Tapi... kenapa ayah dan ibumu tidak mengantar?"
"Mereka terlalu sibuk, Nek."
"Ya, paling tidak… nitip pesan begitu."
"O ya, ada Nek." Dara segera mengeluarkan sepucuk surat dengan tanda tangan yang dipalsukan.
Sang Nenek pun segera membacanya. Enggak lama kemudian, "Hmm… kini Nenek mengerti," katanya seraya memperhatikan Dara dengan dahi sedikit berkerut. "Dara, kenapa wajahmu tampak pucat, dan kenapa pula dengan kulitmu itu?" tanyanya kemudian.
"Eng… mungkin ini karena aku kurang tidur, Nek. Dan goresan di kulitku ini karena kecerobohanku yang ketika bermain di kebun tetangga enggak memperhatikan semak berduri."
"O… begitu rupanya. O ya, Cu. Apa kamu sudah lapar?" tanya sang nenek ketika menyadari waktu sudah menunjukkan pukul 11. 45 WIB.
"Iya, Nek. Aku udah lapar banget."
"Kalau begitu, ayo kita makan! Kebetulan, tadi pagi Nenek sudah menumis jamur. Bukankah itu makanan kesukaanmu."
"Lho, kok Nenek masih ingat aja makanan kesukaanku," kata Dara enggak percaya.
"Bagaimana Nenek tidak selalu ingat. Waktu itu, ketika kamu berusia 8 tahun, di saat nenek menginap di rumahmu. Kamu selalu menangis jika Nenek mencoba mengambil jamur yang disediakan oleh ibumu. Sepertinya jamur itu hanya untuk dirimu saja."
"Ah, Nenek. Aku sendiri udah lupa dengan kejadian itu. Saat itu kan aku emang belum mengerti tentang arti serakah."
"Iya… Nenek mengerti. Tapi, bagi Nenek hal itu sangat berarti. Terus terang, jika Nenek bertindak serakah, maka Nenek selalu teringat akan hal itu. Dan Nenek pun akhirnya sadar, kalau perbuatan itu tidak sepantasnya nenek lakukan, karena jika Nenek melakukannya berarti nenek sama saja dengan kamu yang waktu itu masih anak-anak."
"O ya, Nek. Kita jadi makan enggak?"
"Aduh, kenapa Nenek jadi lupa. Kalau begitu, kamu tunggu di sini sebentar! Nenek mau menghangatkannya dulu," kata sang Nenek seraya melangkah ke dapur.
Saat itu Dara tampak menunggu di ruang tamu sambil memperhatikan goresan-goresan di kulitnya yang mulus. Sementara itu di Pesantren, orang tua Dara yang baru saja tiba tampak panik. Mereka benar-benar khawatir dengan Dara yang enggak diketahui keberadaannya. Kini mereka tengah bercakap-cakap dengan Pengurus Pesantren untuk menyelesaikan masalah itu.
"Bagaimana ini, Pak? Putri saya itu memang suka nekad. Terus terang, saya benar-benar khawatir jika sesuatu yang buruk menimpanya," tanya ayah Dara kepada Pengurus Pesantren itu.
"Tenang Pak Bobby! Beberapa santri sudah saya kerahkan untuk mencarinya. Insya Allah dalam waktu dekat Dara sudah bisa ditemukan."
"Bukan apa-apa, Pak. Tempat ini kan dikelilingi oleh bukit dan hutan lebat, karenanyalah aku benar-benar khawatir."
"Kalau begitu, sebaiknya Bapak terus berdoa agar yang Bapak khawatirkan itu tidak terjadi."
"Tentu saja, Pak. Saya pasti akan terus berdoa. Namun begitu, kita juga perlu untuk melakukan usaha yang maksimal."
"Kalau begitu baiklah, sekarang saya akan memerintahkan kepada beberapa santri lagi untuk menyisir semua penjuru."
"Terima kasih, Pak. Sekarang saya sudah agak lega. Jika kita sudah berusaha semaksimal mungkin, dan ternyata apa yang kita harapkan tidak terjadi maka itu sudah pasti karena kehendak-Nya."
"Kalau begitu, mari kita mulai sekarang!" ajak sang Pengurus Pesantren itu.
"Mari, Pak…"
Akhirnya mereka dan beberapa santri yang diikutsertakan mulai bergerak menyisiri hutan, mereka berpencar ke segala penjuru untuk menemukan Dara. Setelah lama melakukan pencarian, akhirnya Pak Bobby dan Pengurus Pesantren berjumpa dengan seorang pemuda yang tampak tergesa-gesa menghampiri mereka. Pemuda itu ternyata Handy, pemuda yang waktu itu bertemu dengan Dara.
"Permisi, Pak. Apakah Bapak-Bapak sedang mencari seorang gadis."
"Betul, Nak. Apa kau melihatnya?" tanya Ayah Dara menggebu-gebu.
"Betul, Pak. Bahkan aku sempat berbincang-bincang padanya. Sebenarnya, aku pun sedang menuju ke Pesantren untuk memberitahukan hal ini."
"Syukurlah kalau begitu. Nah, sekarang tolong katakan! Di mana putriku itu kini berada?" tanya Ayah Dara lagi.
"Hmm… jadi Bapak, ayahnya Dara?" tanya pemuda itu.
"Betul, Nak."
"Kebetulan, banyak sekali yang ingin kubicarakan pada Bapak."
"Eng.. kalau begitu baiklah. O ya, ngomong-ngomong… bagaimana dengan keadaan Dara? Apa dia baik-baik saja?"
"Tenang, Pak. Insya Allah, saat ini Dara sedang baik-baik saja di rumah neneknya."
"Be-benarkah yang kau katakan itu?"
"Betul, Pak. Itulah yang Dara katakan pada saya."
"Pak, Bobby. Bagaimana kalau sekarang kita kembali ke Pesantren untuk membicarakan masalah ini," ajak Pak Pengurus Pesantren.
"Baiklah, Pak. Kalau begitu, Mari…"
Akhirnya mereka kembali ke Pesantren untuk membicarakan perihal Dara. Sementara itu di rumah neneknya, Dara sedang termenung di atas tempat tidur. Sepertinya cewek itu sedang memikirkan sesuatu, "Maafin Dara, Nek! Dara udah berbohong sama nenek. Soalnya kalo enggak begitu, nenek pasti akan memberitahukan pada ayah dan ibu. Sekarang pun Dara lagi bingung, gimana jika ayah dan ibu sampai tahu Dara lari dari Pesantren. Mereka tentu akan murka banget."
Cewek itu terus merenung, namun karena kantuk dan rasa lelah yang dirasakan, akhirnya cewek itu pun tertidur. Dan dia baru terbangun ketika waktu sudah menunjukkan pukul empat sore.
Kini cewek itu baru selesai mencuci muka dan sedang menuju ke ruang tamu. Ketika dia tengah membuka pintu depan untuk menuju teras, tiba-tiba…
"Dara! Sini, Cu!" panggil sang Nenek yang kini dilihatnya tengah duduk di sofa yang semula luput dari pandangannya.
"Iya, Nek!" sahut Dara seraya bergegas menghampiri beliau dan duduk di sebelahnya. "Ada apa, Nek," tanyanya kemudian.
"Coba lihat ini!"
"Apa itu, Nek?" tanya Dara seraya duduk dan terus memperhatikan sebuah benda yang sedang dipegang oleh neneknya.
"Ini adalah kotak teka-teki peninggalan kakekmu. Waktu itu kakekmu pernah berpesan, jikalau kamu sudah berusia tujuh belas tahun maka kotak ini harus diserahkan padamu. Bukankah sekarang usiamu sudah tujuh belas tahun?"
"Benar, Nek"
"Nah, sekarang terimalah kotak ini."
Dara pun segera menyambut kotak itu dan memperhatikannya dengan seksama. Kotak yang terbuat dari kuningan itu berbentuk kubus dengan beberapa tombol yang juga terbuat dari kuningan. Pada setiap sisinya terdapat beberapa bagian yang bisa digeser dengan menekan salah satu tombol tersebut. Jumlah tombol di semua sisinya berjumlah 27 tombol, sedang bagian yang bisa digeser berjumlah 16 buah. Semua itu adalah kunci kombinasi yang bisa membuka kotak tersebut.
"Dara… di dalam kotak itu ada kalimat ajaib yang akan membuatmu hidup bahagia."
"Tapi, Nek. Kayaknya aku enggak mungkin bisa membuka kotak ini. Liat aja, kombinasinya begitu banyak!"
"Insya Allah kamu bisa. Asal saja kamu mau berusaha memecahkan teka-tekinya dengan hati yang bersih."
"Kenapa harus begitu, Nek."
"Karena dengan hati yang bersihlah, akalmu bisa digunakan dengan maksimal."
Nenek dan cucunya itu terlihat terus berbincang-bincang hingga akhirnya, "Assalamu’alaikum!" seru seseorang di luar rumah.
"Wa‘allaikum Salam…!" jawab sang Nenek seraya menemui orang tersebut.
"Bobby, Cindy…" ucap sang Nenek gembira seraya menyambut peluk cium dari putra dan menantunya.
"Aduh… Aduh… Aku benar-benar tidak menduga kalau kalian akan datang kemari. Padahal di surat yang kalian titipkan pada Dara menyebutkan kalau kalian itu sibuk sekali."
Pak Bobby dan Istrinya tampak saling berpandangan.
"Surat… surat apa maksud Ibu?" tanya Pak Bobby heran.
"Lho… emangnya kalian tidak merasa menulis surat untukku? Hmm… kini aku mengerti," kata sang Ibu seraya mempersilakan keduanya masuk.
Pada saat yang sama, Dara tampak tertunduk di tempat duduknya. Pada saat itu juga kedua orang tuanya langsung memeluk dan menciuminya berkali-kali. Dara yang semula merasa akan dimarahi menjadi heran, dia benar-benar enggak menduga kalo kedua orang tuanya akan bersikap demikian.
"Maafkan Ayah, Sayang…! Mulai saat ini ayah tidak akan memaksakan kehendak Ayah lagi. Kamu memang tidak seperti gadis kebanyakan, kamu mempunyai tabiat yang keras namun belum bisa berpikir panjang. Kini ayah sadar, karena sudah tidak ada gunanya lagi jika terus memaksamu menjadi seperti apa yang Ayah inginkan. Mulai sekarang, lakukanlah segala keinginanmu yang kamu anggap benar. Terus terang, Ayah tidak akan melarangnya. Tapi ingat, kamu harus selalu berdoa pada Tuhan agar senantiasa selalu melindungimu. Ayah dan Ibu juga akan senantiasa berdoa agar kamu senantiasa mendapat perlindungan-Nya."
"Iya Sayang… Ibu juga tidak akan menghukummu lagi. Tapi ingat, kamu jangan menyalahgunakan semua kebebasan ini. Sekarang kan kamu sudah dewasa, cobalah untuk mulai berpikir panjang untuk menyaring segala pengaruh lingkungan."
Dara tampak mengangguk-angguk saja. Dalam hati dia merasa telah menang dengan mendapat kebebasan seperti yang diharapkannya. Kini kedua orang tuanya yang sudah pasrah itu hanya bisa memohon perlindungan Tuhan agar senantiasa melindungi putri mereka, bukankah selama ini mereka udah berusaha untuk membimbing putri mereka agar senantiasa berada di jalan yang lurus. Namun karena hidayah emang belum sampai kepadanya, jalan yang terbaik emang hanya mempasrahkan kepada Sang Pembolak-Balik Hati dengan terus berdoa dan berdoa. Karena doa adalah pengakuan kita akan kekuasaan Tuhan. Kita sebagai manusia yang lemah dan tak berdaya mutlak membutuhkan bantuan-Nya. Karenanyalah kita dianjurkan untuk selalu berdoa dan memohon bantuan hanya kepada-Nya.
Jika kita menghadapi segala masalah, maka berdoalah. Mohon kepada-Nya untuk memberi petunjuk dalam menyeselaikan masalah itu. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Nabi s.a.w selalu memohon perlindungan dari suratan takdir yang buruk, dari ditimpa kecelakaan, dari keghairahan musuh dan dari terkena bala.
Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, jika kita percaya akan keberadaan-Nya janganlah meragukan segala pertolongan-Nya. Bagaimanapun caranya Tuhan pasti akan menolong dengan cara-Nya, dan pada waktu yang dikehendaki-Nya.
Itulah kenapa kita selalu dianjurkan untuk berdoa, dan dengan doa itulah kita akan terselamatkan. Doa itu membutuhkan keyakinan, yaitu keyakinan bahwa Tuhan pasti akan mengabulkannya. Jika kita tidak yakin, maka doa itu pun akan menjadi sia-sia. Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila kamu berdoa, janganlah berkata: Ya Allah, ampunilah aku jika Engkau kehendaki. Tetapi hendaklah dia serahkan permohonannya dengan senang hati, kerana Allah tidak pernah segan untuk memberikan sesuatu kepadanya.
(Inti Hadis ini, kita harus yakin dan tidak boleh ragu-ragu. Kalimat "Jika engkau kehendaki" adalah sebuah keragu-raguan, sepertinya Allah belum tentu mengabulkan permohonannya itu, karena itu janganlah ragu-ragu.)
Diriwayatkan daripada Anas r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Apabila kamu berdoa, maka hendaklah kamu berazam serta benar-benar memohon kepada Allah s.w.t dan janganlah berkata: Ya Allah, jika Engkau kehendaki maka perkenankanlah kepada aku, karena sesungguhnya Allah itu bukanlah kedekut (kikir).
(Inti Hadis ini sama dengan hadis di sebelumnya, yaitu kita harus yakin dan tidak boleh ragu-ragu. Kita harus yakin kalau setiap permintaan kita akan dikabulkan, karena Allah itu tidaklah kikir. Allah itu Maha Pemurah.)
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Doa seseorang itu akan dikabulkan selagi dia tidak terburu-buru (minta segera dikabulkan) menyebabkan dia berkata: Aku berdoa tetapi tidak dimakbulkan.
(Inti hadis ini, kita tidak boleh berputus asa akan doa yang belum juga dikabulkan. Kita dianjurkan untuk terus berdoa, sampai akhirnya Tuhan mengabulkannya. Tuhan lebih mengetahui apa yang terbaik buat kita, dan kapan hal itu akan dikabulkan. Karenanya selalu berprasangka baiklah kepada Tuhan. Andai saja doa kita tidak juga dikabulkan, itu tandanya doa kita bisa berdampak buruk buat kita, karenanyalah doa kita itu akan di simpan agar menjadi tabungan kebaikan untuk bekal kita di akhirat kelak.)
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda: Allah s.w.t berfirman: Aku adalah berdasarkan kepada sangkaan hamba-Ku terhadap-Ku. Aku bersamanya ketika dia mengingat-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam dirinya, niscaya Aku juga akan mengingatinya dalam diri-Ku. Apabila dia mengingat-Ku dalam suatu kaum, niscaya Aku juga akan mengingatinya dalam suatu kaum yang lebih baik daripada mereka. Apabila dia mendekati-Ku dalam jarak sejengkal, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak sehasta. Apabila dia mendekati-Ku sehasta, niscaya Aku akan mendekatinya dengan jarak sedepa. Apabila dia datang kepada-Ku dalam keadaan berjalan seperti biasa, niscaya Aku akan datang kepadanya dalam keadaan berlari-lari kecil
Jika kita mencermati hadist itu kita akan menyadari betapa Tuhan sangat mencintai kita dan karenanyalah enggak sepantasnya kita berprasangka buruk kepada-Nya.
(Maaf kalo ada yang ngerasa bete, penulis bukannya bermaksud menceramahi pembaca yang mungkin sudah paham betul. Namun dikarenakan, enggak semua orang mengerti maka penulis merasa berkewajiban untuk memberikan keterangan yang sekiranya bisa bermanfaat. O ya, gimana kalo sekarang kita pindah bab aja? )