Empat Belas
Pada suatu pagi, udara dingin terasa menusuk kulit, kabut tebal masih menyelimuti perbukitan. Saat itu, Randy dan istrinya sedang berdua di teras sebuah Villa, rupanya mereka sedang berbulan madu setelah menikah sebulan yang lalu.
"Kak... berapa anak yang akan kita miliki?"
"Sebanyak aku sanggup memelihara, Yul..."
"Kamu ingin anak pertama kita laki-laki atau perempuan?"
"Bagiku laki-laki atau perempuan sama saja, yang penting mereka bisa tumbuh sebagai anak-anak yang saleh."
"Kak... aku menyayangimu"
"Aku juga, Yul. Oh Adindaku sayang... jika kau sedang bermanja seperti ini, wajahmu tampak begitu mempesona."
"Ah, Kak Randy bisa saja... "
"O ya, Yul! Tadi kata Pak Ujang, rumah kita sudah selesai direnovasi. Nanti sepulang berbulan madu, kita langsung tinggal di rumah itu ya!"
"Jangan dulu, Kak! Aku masih belum bisa meninggalkan Paman dan Bibiku, karena selama ini mereka begitu baik dan begitu menyayangiku. Dan aku pun sudah menganggap mereka sebagai kedua orang tuaku sendiri. Jika aku pergi, mereka tentu akan merasa kehilangan, sebab selama ini mereka sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri. Kau tahu kan, kalau mereka belum dikaruniai seorang anak pun."
"Baiklah, Yul. Kalau memang itu yang kau inginkan," kata Randy menyetujui, karena dia mengerti betapa sayangnya Yuli kepada paman dan bibinya. Sehingga dia bisa memahami jika istrinya tidak mau segera pindah.
"O ya, Kak. Apakah selama ini kau sudah mendapat kabar dari Bobby?"
"Belum, Yul. Selama ini dia tidak pernah memberitahu kabar tentang dirinya. Sepertinya dia lenyap begitu saja tanpa ada kabar beritanya."
"Semoga dia baik-baik saja ya, Kak."
"Kita doakan saja, semoga dia selalu sehat wal-afiat."
Keduanya terus berbincang-bincang sambil bermanja-manja dengan penuh kebagiaan. Sementara itu, di dalam villa terlihat pesawat TV yang belum dimatikan, saat itu di layat kaca sedang diberitakan tentang dua orang yang tertembak, dan salah seorang yang tertembak itu kini sedang mengalami koma di rumah sakit.
Sementara itu di luar, matahari tampak semakin meninggi dan kabut mulai menghilang dari pandangan. Pada saat itu, Randy dan Yuli tampak melangkah meninggalkan teras depan, dan sekarang mereka sedang menyaksikan acara di televisi. Mereka berdua sedang menyaksikan acara musik.
"Sayang... lagu ini mengingatkan aku ketika pertama kali kita jadian."
"Benar, Yul. Saat itu memang benar-benar malam yang indah."
Yuli bersandar di dada suaminya, "Sayang... akankah kita akan selalu seperti ini?"
"Kenapa kau berkata begitu?"
"Karena ketika aku melihat pengalaman dari teman-temanku sendiri tidak demikian, cinta mereka yang semula begitu besar lambat laun akan sirna seiring dengan berjalannya waktu. Kehidupan rumah tangga mereka tidak lagi harmonis, karena mereka selalu dikejar-kejar dengan segala permasalahan yang selalu datang. Baik masalah ekonomi, anak, maupun orang ketiga—mertua dan pacar gelap."
"Ya namanya juga hidup, Yul. Orang yang hidup pasti akan mengalami segala macam masalah. Untuk itulah kita sebagai manusia dianjurkan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, agar kita selalu diberi jalan petunjuk yang lurus."
"Apakah cintamu kepadaku akan hilang juga?"
"Selama kita selalu mendekatkan diri kepada Tuhan, masih saling percaya, saling setia, saling terbuka dan saling pengertian, mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi."
"Sayang... apakah kau akan selalu setia padaku?"
Randy tidak segera menjawab, dia tampak termenung. Karena dia juga tidak tahu harus berkata apa, karena itulah pertanyaan yang bisa menjadi buah simalakama. Jika dia terbuka dengan berkata jujur tentu akan menyakiti perasaan istrinya, sedangkan jika dia berbohong berarti dia tidak terbuka, dan kata saling percaya lambat laun akan terlupakan.
"Sayang... kenapa kau diam? Jawablah pertanyaanku itu," desak Yuli.
"Yul dengarkan aku! Aku ini hanya manusia, aku sama sekali tidak bisa mengetahui hal itu. Kau mengajukan pertanyaan ini begitu cepat, padahal kita baru saja mengarungi bahtera rumah tangga. Sebaiknya kita jalani saja kehidupan kita, nanti juga kau akan mengetahui jawabannya."
Dahi Yuli sedikit berkerut, kemudian dia memandang Randy dengan mata berkaca-kaca. "Kak... apakah semua laki-laki memang seperti itu, tidak bisa setia dan suka selingkuh."
"Tidak juga, Yul. Tidak semua laki-laki seperti itu. Semua itu tergantung kepada pribadi masing-masing dan tentunya kehidupan bersama pasangannya."
"Maksudmu?"
"Tidak mungkin seorang lelaki berselingkuh jika tanpa suatu sebab, begitu juga sebaiknya. Karena suatu sebab itulah yang memicu hal demikian."
"Sebab apakah itu, Kak?"
"Ya itu tadi. Tidak saling percaya, tidak saling terbuka, tidak saling setia dan tidak saling pengertian. Karenanyalah, jangan kau tanyakan lagi tentang hal itu, dan kau tidak perlu mencurigai aku. Percayakan saja kalau aku akan selalu setia padamu. Yang jelas saat ini aku begitu menyayangimu..."
Kini Yuli tidak bertanya-tanya lagi, dia percaya Randy akan selalu setia dan tidak akan menyakitinya. Karena Yuli menyadari kalau Randy memang berpotensi untuk tidak setia, dan dia bisa mengerti tentang kodrat Randy sebagai seorang lelaki. Sekarang yang harus dia lakukan adalah mempercayai kata-kata suaminya, dan dia berharap agar Randy tidak menyalahgunakan kepercayaannya itu. Untuk itu, dia harus berbuat semaksimal mungkin guna membahagiakan suaminya, dengan harapan suaminya akan selalu menyayanginya. Kalau suaminya sudah sayang, tidak ada alasan baginya untuk berkhianat.
Kini keduanya terlihat mesra, Randy mendekap istrinya yang masih bersandar di dadanya. Sementara itu di kamar rumah sakit, Bobby masih belum sadarkan diri. Dia masih berkelana di alam bawah sadarnya. Peralatan pemantau terus terpasang pada tubuhnya, grafik indikator terus memberikan informasi tentang keadaan Bobby. Sesekali dokter datang ke kamar itu untuk mencatat perkembangannya.
Di alam bawah sadarnya, Bobby sedang berpetualang ke dunia lain. Dia melihat pegunungan yang tinggi menjulang, kabut tebal tampak menyelimuti dari kaki hingga ke lerengnya. Pemuda itu terus merasakan dirinya melayang menuju ke sebuah gunung yang paling besar, seakan-akan memang ada yang membawanya ke sana. Hingga akhirnya pemuda itu tiba di sebuah gua yang menganga lebar.
Kini pemuda itu sedang berdiri di mulut gua sambil memperhatikan sekitarnya dengan penuh rasa was-was, dalam hati dia merasa bingung dengan kejadian yang sedang dialaminya. Kemudian dengan perlahan, pemuda itu mulai melangkah memasuki gua yang di kiri-kanan dindingnya terdapat obor-obor yang terus menyala. Perasaan takut mulai menyelimuti hatinya, namun dia kembali teringat dengan Tuhannya. Tiada yang perlu ditakuti jika Tuhan masih bersamanya, karena Dia yang Maha Besar, Maha kuasa dan Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang. Tuhan pasti akan melindunginya dari marabahaya apapun, selama dia masih beranggapan Tuhan memang selalu melindunginya.
"Ya Allah lindungilah aku, karena tiada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan-Mu. "
Bobby terus melangkah sambil terus berdoa—meminta pertolongan kepada Tuhannya. Kini keberaniannya semakin nyata, dan dia semakin cepat melangkahkan kaki. Akhirnya dia tiba di sebuah ruangan yang cukup luas, di hadapannya membentang jembatan yang terbuat dari tulang-belulang manusia. Di bawah jembatan itu merupakan jurang yang berisi lahar yang sangat panas.
Kini Bobby melangkah melewati jembatan itu, hingga akhirnya dia tiba di seberang dengan selamat. Bobby memperhatikan keadaan sekitarnya, Obor-obor yang menyala terlihat mengelilingi tempat itu. Di hadapannya terlihat sebuah altar batu yang dikelilingi lahar panas yang menyala-nyala. Di depan altar itu terdapat anak tangga yang juga terbuat dari batu, dan di atas altar itu terdapat sebuah batu permata yang sangat besar.
Bobby melangkah untuk melihatnya lebih dekat, matanya tak berkedip melihat kilauan permata yang begitu indah—kilauan yang bisa membuat orang terkagum-kagum. Ketika dia baru menginjakkan kakinya pada anak tangga yang pertama, tiba-tiba di belakang permata itu berdiri mahluk berkaki dua dengan seluruh tubuh penuh bulu dan berwarna hitam—seperti hitamnya kerbau. Kedua tangannya mempunyai cakar yang begitu runcing. Pada kepalanya terdapat dua buah tanduk kecil, dan dia juga mempunyai ekor yang kecil pula. Wajahnya terlihat menyeringai dengan gigi-giginya yang runcing, sungguh menyeramkan.
Bobby sangat terkejut dengan penampakan mahluk itu yang begitu tiba-tiba, dan dia tidak tahu mahluk apakah itu gerangan. Belum sempat Bobby berpikir lebih jauh, tiba-tiba mahluk itu tertawa keras, suaranya menggema hingga ke seluruh ruangan. Kemudian dengan suara yang berat dan agak menggema dia bertanya kepada Bobby, "Hai manusia! Apakah kau menginginkan permata itu?"
"Kau akan memberikan permata itu untukku?" Bobby balik bertanya.
"Tentu saja... tapi ada syaratnya."
"Syarat! Syarat apakah itu.?"
"Ayam... aku meminta sepuluh ekor ayam?"
"Hanya itu?"
"Ya... hanya itu," kata mahluk yang menyeramkan itu.
Dalam hati Bobby berpikir, "Kenapa mahluk itu ingin memberikannya permata yang begitu besar, dan dia hanya meminta sepuluh ekor ayam?"
Bobby benar-benar bingung dengan semua itu, karena yang diminta hanya sepuluh ekor ayam. Setelah berpikir sejenak, akhirnya dia pun menyanggupi, "Baiklah aku akan memberikanmu sepuluh ekor ayam."
"Sebelum kuberikan permata ini, tanda tanganilah surat perjanjian ini!"
Tiba-tiba selembar surat perjanjian yang ditulis di atas selembar kulit tampak melayang ke arah pemuda itu, lalu dengan segera dia menanggapi dengan kedua telapak tangannya. Kemudian pemuda itu segera membaca isi surat perjanjian itu.
"Telah aku sanggupi untuk memberikan sepuluh ekor ayam kepada Jin penguasa kegelapan, dan bila aku tak bisa menyanggupinya, maka aku harus bersedia untuk mengabdi kepada Jin penguasa kegelapan. Tertanda Jin penguasa kegelapan yang berstempelkan darah."
"Nah... tanda tanganilah surat perjanjian itu, dan berikan cap darahmu!" seru mahluk itu.
Bobby langsung tersadar ketika membaca isi perjanjian itu, hingga akhirnya dia mengetahui bahwa mahluk yang sedang berdiri dihadapannya adalah Jin, mahluk gaib ciptaan Tuhan yang hidup di alam lain.
"Wahai Jin Fasik! Ketahuilah... aku tidak akan pernah mau membuat perjanjian denganmu, dan aku tidak akan termakan dengan segala bujuk rayumu, karena aku tahu akan segala tipu muslihatmu. Aku tidak akan mau menandatangani perjanjian ini, walaupun itu hanya untuk sepuluh ekor ayam. Karena aku tahu, kau pasti ingin menjebakku agar aku menjadi pengikutmu."
Begitu mendengar kata-kata itu, Jin tersebut tampak marah. Mendadak dari bawah jurang lahar terdengar suara yang cukup keras, kini seekor ular yang sangat besar sedang merayap ke arah pemuda itu. Melihat hal demikian, Bobby pun langsung berdoa kepada Tuhannya untuk meminta pertolongan-Nya.
Bobby terus membaca doa-doa dengan khusuk, dan ketika ular itu hendak mendekat, tiba-tiba ular itu terbakar. Melihat hal itu, mahluk yang bernama Jin itu semakin marah. Dia melemparkan bola-bola api ke arah Bobby, namun bola api itu sama sekali tidak mengenainya.
Ketika Jin itu hendak bertindak lebih jauh, tiba-tiba sekelebat sinar putih menyambar tubuh Bobby dan terus membawanya hingga keluar gua. Pada saat yang sama, di ruang rumah sakit terlihat para dokter yang sedang menangani pemuda itu. Mereka tampak berusaha untuk mengaktifkan denyut jantung Bobby yang tak berdetak lagi.
"Sekali lagi!"
"Siap..."
Alat kejut jantung kembali tersentak di dada pemuda itu, dan tiba-tiba grafik monitor memperlihatkan tanda-tanda kehidupan. Para dokter terlihat senang karena jantung pasiennya kembali berdenyut, lalu mereka pun segera menindaklanjutinya guna menstabilkan kondisi pasien.