Sembilan
Setahun kemudian semenjak Dara mengenakan busana muslim, Jaka makin mencintainya. Cowok itu kayaknya udah sulit buat berpindah hati, walaupun selama ini ada si Dita yang selalu berusaha menarik perhatiannya.
Kini cowok itu sedang berduaan dengan orang yang dicintainya. "Ra, elo tahu enggak, apa yang ada di hati gue? Gue tu cinta banget sama elo. Sampe-sampe gue enggak enak makan, enggak enak bobo, and enggak enak…. Udah deh, pokoknya gue tu enggak enak ngapa-ngapain. Hati ini rasanya gelisaaaah terus. Apa lagi kalo elo lagi enggak ada, rasanya enggak karuan, begini salah, begitu salah. Pokoknya enggak enak banget deh. Elo tahu enggak? Muka loe yang caem itu selalu aja kebayang. Tapi sayangnya gue enggak bisa ngapa-ngapain. Di cium juga enggak ada rasanya, lah wong cuma bayangan doang. Tapi itu tu, body loe yang seksi udah bikin gue pusing, udah bikin gue menghayal yang enggak-enggak. Jangan marah! Bukankah hal itu manusiawi banget. Tul enggak? Sebagai cowok yang normal and butuh sama kebutuhan biologis tentunya gue enggak mungkin bisa menghindar. Eh, maksudnya bukan enggak bisa, tapi suliiiit banget. Gue kan hanya manusia biasa, bukan kiai, maupun ustad. Kayaknya, gue masih suliiiit banget buat ngejaga pandangan, yang kata Ustad Sanusi, bisa membuat hati ini jadi hitam and keras membatu, hingga nikmat iman pun enggak bisa lagi dirasain.
Ya, begitulah… Sorry ya, Ra! Gue kepaksa banget kalo sampe ngebayangin elo yang enggak-enggak. Soalnya kalo enggak begitu, gue bisa jadi gila, la, la, laaaa. Gue pernah coba ngalihin pikiran itu ke hal lain, tapi tetap aja enggak bisa. Pokoknya yang ada selalu aja, body loe, muka loe, and senyum loe yang manis tentunya," ungkap Jaka terus terang.
Dara terdiam, dia enggak tahu harus berkata apa kepada cowok yang kini menatapnya dengan hangat. Emang, sebagai cewek awam yang masih perlu banyak belajar, Dara cuma bisa tersipu.
Dalam hati dia agak menyesal, kenapa harus ada cowok yang sampai seperti itu. Apa tu cowok udah enggak ada pikiran lain, selain memikirkan dia. Dan apa dia enggak bisa menurunkan kadar libidonya sedikit saja. Biar tu pikiran enggak ngeres melulu.
Andai saja dia dulu dia mengenakan busana muslim, tentu cowok itu enggak akan sampai seperti itu. Dia benar-benar menyesal karena membuat cowok itu terlanjur melihat keindahan tubuhnya, bahkan sempat membayangkannya yang enggak-enggak.
Kini Dara merasa bersalah, dalam hati dia kepingin banget menebusnya dengan menjadi pacarnya. Namun di lain sisi, Dara merasa enggak mungkin menjadi kekasih seorang yang menurutnya begitu mata keranjang dan enggak bisa merawat diri. Dia masih ragu apakah cowok itu bisa merubah prilakunya yang menurut pandangannya masih jauh dari nilai-nilai agama.
"Ra, kenapa diam. Apa elo enggak peduli ama gue."
"Bukan begitu, Ka. Gue sendiri juga masih bingung."
"Apa karena elo mencintai Randy?"
Dara terdiam. Sepertinya dia enggak mau menjawab pertanyaan itu.
"Ra, Randy pernah bilang ke gue. Kalo dia enggak mencintai elo," jelas Jaka.
Mendengar itu, Dahi Dara pun langsung berkerut. "Apa! Elo jangan mengada-ngada, Ka," katanya enggak percaya.
"Gue enggak mengada-ada, Ra. Itu emang kenyataan. Kalo enggak percaya, tanya aja sendiri."
Saat itu dara terdiam, dalam hati dia sempat membatin. "Hmm... jadi apa yang gue duga selama ini benar. Kalo Randy emang enggak suka sama gue. Pantes selama ini sikapnya selalu dingin, kayaknya dia emang enggak tertarik sama gue."
"Udalah, Ra. Elo enggak perlu mikirin dia. Kenapa sih elo enggak mencoba mencitai gue aja, yang jelas jelas mencintai elo."
Malam harinya, di sebuah kamar. Jaka tampak sedang melamunkan sang pujaan hati. "Sayang… kubegitu merindukanmu. Rindu akan tatapanmu, rindu akan senyum manismu, dan rindu akan tawa candamu. Sayang… kuingin mendekapmu, merasakan hangat tubuhmu, menikmati harum rambutmu, juga belaian lembutmu. Sayang… jika tidak kumerana, gundah gulana, resah tak terkira. Sepi… di kesendirianku… siang dan malam, di waktu luang yang menyiksa…. Dingin… di malam-malamku.… disaat hujan yang lebat…. Sedih… tanpa pelipur lara dikala duka. Galau… ketika hasrat bergelora tanpa pelampiasan… Sejalan dengan waktu yang terus bergulir, seiring dengan nafas yang tak pernah berhenti berhembus, kuslalu mengharapkanmu. Siang dan malam, di sela kesibukan, di sela hiruk-pikuk, dan segala macam rutinitas."
Jaka terus melamunkan Dara, kayaknya dia udah cinta mati dan begitu terobsesi dengan pujaan hatinya. Sementara itu di tempat lain, Randy dan Dara sedang berbincang-bincang.
"Ran, apa benar elo enggak cinta sama gue?"
"Iya, Ra. Sepertinya elo emang bukan cewek idaman gue"
"Tapi, kenapa dulu di Mal elo ngikutin gue?"
"Ya, waktu pertama kali ngeliat elo, gue emang suka. Tapi, untuk jatuh cinta kan bukan cuma ngeliat penampilan saat itu, namun juga ngeliat tabiat elo, sesuai enggak sama gue."
Saat itu Dara tampak kecewa banget, wajahnya yang cantik tampak begitu sedih. Sementara itu, Randy merasa berdosa karena telah berkata dusta, dalam hati cowok itu langsung membatin. "Maafin gue, Ra. Sebenarnya gue cinta sama elo. Tapi sayang, gue enggak mungkin pacaran sama elo. Sebab, gue emang udah bertekad untuk enggak pacaran, karena gue takut hal itu membawa gue kepada hal-hal yang merugikan. Terus terang, Iman gue masih lemah, dan karenanyalah gue lebih baik mencegah daripada nantinya malah terperangkap. Lagi pula, gue juga enggak mau menyankiti perasaan Jaka yang sudah begitu cinta sama elo."
Kedua muda-mudi itu terus terdiam, entah kenapa sikap keduanya tiba-tiba saja berubah tak seakrab dulu.
Sejak pertemuan malam itu, Dara udah enggak memikirkan Randy lagi. Kini dia udah resmi menjadi pacar Jaka, pemuda yang sangat mencintainya. Setelah beberapa bulan pacaran, akhirnya Jaka diperkenalkan oleh orang tua Dara. Dan sejak saat itulah, Jaka sering berkunjung ke rumah Dara.
Saat ini pun, Jaka tengah berkunjung ke rumah Dara. "Dara ada, Tante?" tanya pemuda itu kepada ibunya Dara yang membukakan pintu.
"Wah, belum pulang kuliah tuh, Nak. Ayo silakan masuk dulu!" tawar Ibunya Dara.
Enggak lama kemudian, Jaka pun masuk dan duduk berbincang-bincang dengan Ibunya Dara hingga waktu Juhur tiba.
"Maaf, Tante! Boleh saya numpang sholat di sini?"
"O, silakan, Nak! Mari Tante antar ke belakang!"
Dan setibanya di belakang, Jaka langsung menggulung celana panjangnya untuk mengambil Wudhu. Saat itu, tanpa sengaja Ibunya Dara melihat sebuah tanda yang sangat dikenalnya, melekat di betis pemuda itu. "Ta-tanda itu..." ucapnya dalam hati.
Ketika Jaka sedang menunaikan sholat Juhur, Ibu Dara masih memikirkan perihal tanda yang dilihatnya. "Hmm... apakah dia memang putraku? Ta-tanda bekas luka itu, sama persis dengan milik putraku yang hilang delapan tahun yang lalu? Eng... kalau begitu, nanti akan kutanyakan perihal kedua orang tuanya."
Benar saja, seusai sholat. Ibunya Dara langsung mengintrogasi Jaka perihal kedua orang tuanya. Dan setelah dirasa cukup. "Baiklah Nak Jaka. Lain waktu, Tante ingin main ke rumah kamu, terus terang Tante ingin kenal dengan mereka."
"Saya senang sekali Tante bicara begitu, soalnya kedua orang tuaku pun juga ingin berkenalan dengan Tante dan Om."
"O ya, Nak Jaka. Tante..."
Belum sempat Ibu Dara melanjutkan kata-katanya. Tiba-tiba dari luar rumah terdengar suara salam yang cukup keras.
"Wa’allaikum salam!" ucap Jaka dan Ibu Dara bersamaan.
"Nah, itu si Dara sudah pulang. Kalau begitu Tante tinggal dulu ya."
Enggak lama kemudian, Dara tampak memasuki ruangan. "Eh… kamu, Ka. Udah lama?" tanyanya seraya duduk di sebelah Jaka.
"Enggak kok, paling cuma satu jam..."
"O, ya. Kenapa kamu enggak telepon dulu, sih?"
"Sebenarnya aku enggak niat mampir. Tapi, karena aku kangen dan kebetulan emang lagi lewat sini. Ya... terpaksa deh."
Saat itu dara cuma bisa tersenyum.
"Ra, aku laper nih. Kita makan di luar yuk!"
"Aduh, Ka. Aku capek nih. Baru juga pulang, masa udah mau pergi lagi."
"Kalo kamu laper, aku pesenin piza ya."
Jaka mengangguk, soalnya saat itu dia emang benar-benar lapar. Setelah memesan pizza melalui delivery order, akhirnya Dara kembali berbincang-bincang dengan Jaka.
"Eh, Ka. Gimana kabarnya Randy."
"Baik. O ya, nanti malam dia mengajak kita menghadiri acara zikir bersama di Masjid Atin"
"Benarkah! Wah, aku seneng banget kalo kita bisa pergi bersama-sama. O ya. Dita udah di kasih tahu belum?"
"Belum, Ra. Kamu aja ya yang kasih tahu ya!"
Dara mengangguk. Dan enggak lama kemudian, kedua muda-mudi itu udah kembali berbincang-bincang mengenai hal-hal yang berhubungan dengan agama. Sekarang ini Jaka cs emang udah jauh berubah. Semenjak mereka berkomitmen untuk memperbaiki diri, mereka udah enggak pernah lagi berhura-hura. Keseharian mereka selalu diisi dengan hal-hal yang jelas-jelas bermanfaat. Dan itu semua karena mereka udah tergabung di dalam sebuah pengajian tarbiyah yang selalu men-tune-up ahlak mereka agar senantiasa berada di jalur yang benar.
Seminggu kemudian, Jaka dan dara tampak sedang berbincang-bincang di sebuah kursi ayun yang ada di halaman rumah Jaka. Pada halaman yang cukup luas itu juga terdapat sebuah kolam renang yang dikelilingi oleh indahnya berbagai macam tanaman bunga.
"Ka, kayaknya kebalik ya. Bukankah seharusnya orang tuamu yang seharusnya datang ke rumahku. Tapi, kenapa sekarang malah orang tuaku yang datang ke sini. "Eng… Ka! Sebenarnya kamu tahu enggak, kalo mereka mau ngomongin apa?"
"Aku juga enggak tahu, Ra. Yang jelas mereka pasti bukan mau ngomongin soal lamaran, enggak mungkin kan orang tuamu datang buat melamar aku. Hmm… Mungkin mereka cuma mau saling kenal aja sesama calon besan."
Kedua muda-mudi itu terus berbincang-bincang soal pertemuan orang tua mereka, sementara itu di ruang tamu. Orang tua Jaka dan Dara tampak sedang serius membicarakan soal Jaka.
"Jadi benar, Jaka bukan anak kandung kalian?" tanya Pak Bobby.
"Benar, Pak. Waktu itu Jaka kami temukan tengah terombang-ambing di tengah lautan. Saat itu kami yang belum dikaruniai seorang anak pun, akhirnya memutuskan untuk membesarkannya selayaknya anak kami sendiri. Dan kami pun memberinya nama sesuai dengan nama yang ada di gelang perak yang dikenakannya yaitu ‘Jaka Putra Kurnia’. Sebab nama itu emang cocok sekali, karena dia emang sebagai anak lelaki yang saat itu seakan emang dikaruniakan untuk kami," jelas orang tua angkat Jaka panjang lebar.
"Kalau begitu, Jaka emang betul-betul anak kita, Yah," ucap istri Pak Bobby seraya menitikkan air matanya.
"Kau benar, Bu. Sekarang pun aku sudah yakin sekali kalau dia emang anakku," timpal Pak Bobby haru.
Hingga akhirnya para Orang tua itu pun mulai ngebahas langkah yang terbaik untuk menyampaikan kepada sepasang sejoli—Jaka dan Dara agar mau menerima kenyataan yang pahit itu. Sementara itu di taman belakang, Jaka dan Dara masih asyik berbincang-bincang.
"Ka, aku mencintaimu," ucap Dara tersipu.
"Aku pun demikian, Ra," ucap Jaka seraya tersenyum pada kekasihnya.
"Ka, terus terang aku benar-benar enggak menyangka kalo ternyata aku bisa mencintaimu. Padahal semula aku enggak yakin kalo aku bisa mencintaimu. Namun karena kamu ternyata orang yang sangat perhatian padaku, aku pun jadi sangat mencintaimu. Kamu sama sekali enggak seperti penampilanmu, perlakuanmu padaku benar-benar kurasakan begitu tulus. Walaupun terkadang kamu sering membuatku kesal, tapi kutahu kamu melakukan itu karena sayang padaku."
"Sayang… yang kamu katakan itu bukan gombalan kan."
Dara pun memandang Jaka dengan dahi agak berkerut. "Hmm… Jadi, yang sering kamu katakan padaku selama ini cuma sebuah gombalan?" tanya Dara curiga.
"Aduh, Sayang… kenapa kamu malah menuduhku begitu?"
"Udah, kamu enggak usah pake panggil aku ‘Sayang’ segala, cepat jawab pertanyaanku tadi!
"Ra, apakah yang aku ucapkan berdasarkan isi lubuk hatiku yang terdalam itu gombalan?" Jaka malah balik bertanya.
"Mana aku tahu, yang justru tahu itu kan kamu," jawab Dara ketus.
"Huh, terserah kamu deh! Kalo yang kuucapkan dengan tulus itu kamu bilang suatu gombalan. Sekarang aku enggak mau ambil pusing, jujur salah… bohong apa lagi…"
"Ka, kok malah kamu yang marah?"
"Habis, kamu udah bikin aku kesal."
"Kalo begitu, maafin aku ya, Ka! Terus terang, bukan maksudku membuatmu kesal. Sebenarnya aku cuma mau kepastian aja."
"Sekarang, apa kamu udah mendapat kepastian itu."
Dara menggangguk.
"Kalo begitu, apa aku udah boleh emanggilmu ‘Sayang’?
Lagi-lagi Dara mengangguk, di bibirnya tersungging sebuah senyuman manis.
"Syukur deh kalo begitu. Nah, Sayang… gimana kalo…"
Belum sempat Jaka melanjutkan kata-katanya, orang tua mereka terlihat datang menghampiri. Kemudian mereka mengajak keduanya untuk ngobrol di kursi yang ada di teras belakang. Di tempat itulah orang tua mereka menjelaskan perihal jati diri Jaka.
"A-apa! Ja-jadi Dara adikku,” kata Jaka seakan enggak percaya. Dalam hati cowok itu merasa seakan akan tersambar petir karena merasa terkejut sekaligus kepiluan yang amat sangat.
"Kuatkan hatimu, Nak. Itu memang suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri," jelas lelaki yang kini diketahui sebagai ayahnya. Kemudian lelaki itu melanjutkan kata-katanya, "Nak? Apa kamu sudah lupa dengan peristiwa ketika kapal yang kita tumpangi tenggelam?" tanya ayahnya.
Jaka menggelengkan kepalanya. Melihat itu, sang Ayah pun segera menceritakan peristiwa itu. "Dulu… ketika kita tengah berlibur untuk merayakan ulang tahun pernikahan ayah dan ibumu, kita berlayar menuju ke sebuah pulau dengan menggunakan kapal pesiar kecil. Saat itu kemalangan emang tidak bisa diduga-duga, sebuah badai dahsyat yang tak terdeteksi tiba-tiba datang dan mengamuk mengombang-ambingkan kapal yang kita tumpangi tanpa belas kasihan. Hingga akhirnya, kapal yang kita tumpangi itu terbalik dan akhirnya tenggelam. Untunglah saat itu kita semua sudah menggunakan jaket pelampung sehingga kita tidak ikut tenggelam bersama kapal itu. Dan di tengah gelombang dasyat itu, ayah dan ibumu terus berusaha untuk tetap berpegangan agar tidak terpisah. Tapi sungguh sangat disayangkan, saat itu tiba-tiba saja sebuah benda keras yang tertinggal dari kapal yang tenggelam itu menghantam lengan ibumu. Tak ayal, kamu yang saat itu sedang berada di gendongan ibumu seketika terlepas dan menghilang bersama gelombang yang terus bergulung-gulung. Saat itu kami cuma bisa pasrah dan menyerahkan semuanya kepada Sang Pencipta.
Mendengar cerita itu, Jaka cuma bisa menangis, begitu pun dengan Dara—sepertinya cewek itu enggak kuasa menahan kepiluan dihatinya.
"Ayah, Ibu… tolong tinggalkan kami berdua!" Pinta Jaka sopan.
Mengerti akan hal itu, orang tua mereka pun bergegas pergi ke ruang tamu. Sementara itu Jaka dan Dara yang masih di teras belakang tampak saling berpandangan. Saat itu Jaka terlihat menghapus air matanya, kemudian dia pun mencoba untuk tersenyum sambil menghapus air mata yang mengalir di pipi adiknya. "Wahai bungaku yang cantik, tersenyumlah dan jangan lagi menangis. Kehidupan ini hanyalah sementara, sebuah program virtual reality yang seakan nyata. Sekali lagi, semua itu hanyalah dunia semu yang sengaja diciptakan Tuhan. Mirip seperti film Matrix, dimana pada film itu mesinlah yang menciptakannya. Tetapi pada kehidupan kita, Tuhan-lah yang menciptakannya, dengan tujuan yang mulia untuk menguji ketaatan hamba-Nya.
Walaupun kita enggak bisa saling mencintai sebagai sepasang kekasih, tapi kita saling mencintai sebagai kakak dan adik. Terus terang, cintaku kepadamu kini benar-benar cinta sejati yang tanpa ada sedikit pun noda nafsu birahi yang menyertainya. Cinta yang tulus dimana aku kepingin selalu memberikan kasih sayang kepada adikku tercinta, tanpa harus mengharap imbalan apapun."
Saat itu juga, Dara langsung memeluk kakaknya sambil meneteskan air mata. Di dalam pelukan kakaknya itu, Dara merasakan perasaan yang benar-benar membuatnya merasa bahagia banget. Saat itu dia merasakan betul, kasih sayang seorang kakak yang kini sedang mengusap-usap punggungnya, murni perasaan sayang yang diharapkan bisa meredakan kegundahan di hatinya.